KPK Akan Gunakan Putusan MK Lawan Hasil Praperadilan Setnov

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
Perwakilan dari LSM, LBH, dan aktivis menggelar aksi simbolik kawal kasus korupsi e-KTP.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
11/10/2017, 09.50 WIB

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan status tersangka dapat kembali ditetapkan meskipun orang yang bersangkutan telah memenangkan gugatan praperadilan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut baik keputusan MK karena akan menjadi alat melawan putusan praperadilan Ketua DPR Setya Novanto.

Juru bicara KPK Febri Diansyah menilai putusan Mahkamah Konstitusi penting sehingga putusan praperadilan terhadap Novanto tak akan menghentikan proses hukum kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). "Sesuai putusan MK itu, praperadilan tak hentikan proses kasus korupsi," kata Febri kepada wartawan, Selasa (10/10).

Salah satu alasan Hakim Tunggal Praperadilan Cepi Iskandar membatalkan penetapan tersangka Setya Novanto yakni bukti yang diajukan KPK dianggap tidak dapat digunakan untuk menjerat Setya Novanto. Alasannya, alat bukti tersebut pernah digunakan dalam menjerat mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto di pengadilan.

(Baca: Penolakan Bukti Rekaman dan Kejanggalan di Praperadilan Setya Novanto)

Poin putusan MK lain yang juga penting terkait penetapan tersangka kembali. Febri mengatakan, hal tersebut menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan KPK dan Kejaksaan Agung sudah benar. "Saya kira dalam konteks kerja KPK dan jaksa itu penegasan dari yang selama ini kami yakini," kata Febri.

Febri pun menyatakan KPK masih terus menelaah putusan praperadilan. Hal itu dilakukan sebelum kembali memulai penyidikan baru terhadap Novanto. "KPK sedang mempertimbangkan langkah-langkah berikutnya," kata Febri.

Putusan MK Nomor 42/PUU-XV/2017 yang dibacakan di persidangan uji materi mantan Direktur PT Mobile 8, Anthony Candra Kartawiria, Selasa (10/10).  (Baca: Daftar Kekalahan KPK di Praperadilan)

Dalam sidang tersebut, MK menyidangkan uji materi atas Pasal 83 ayat 1 KUHAP. Dalam amar putusan tersebut dinyatakan bahwa permohonan pemohon itu tidak beralasan menurut hukum.

Hakim MK dalam putusannya menyatakan bahwa Pasal 83 ayat 1 KUHAP konstitusional. Praperadilan hanya bertujuan untuk menguji keabsahan terhadap prosedur proses yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap warga negara yang diduga melakukan tindak pidana.

Hakim juga menyatakan bahwa seorang tersangka yang telah dibatalkan penetapan tersangkanya melalui praperadilan masih dapat dilakukan penyidikan kembali secara ideal dan benar. Hal ini dapat dilakukan sepanjang prosedur penyidikan dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

"Sepanjang prosedur penyidikan dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka penyidikan baru tetap dapat dilakukan," sebut hakim dalam pertimbangannya. 

Hakim pun menimbang jika alat bukti yang ditolak dalam praperadilan dapat digunakan kembali untuk penyidikan baru terhadap seseorang. Pasalnya, bisa saja alat bukti tersebut ditolak dalam praperadilan karena alasan formalitas belaka yang tidak terpenuhi.

Alat bukti tersebut baru dapat dipenuhi secara substansial oleh penyidik pada penyidikan yang baru. Dengan demikian, alat bukti dimaksud telah menjadi alat bukti baru.

"Sehingga terhadap alat bukti yang telah disempurnakan oleh penyidik tersebut tidak boleh dikesampingkan dan tetap dapat dipergunakan sebagai dasar penyidikan yang baru dan dasar untuk menetapkan kembali seorang menjadi tersangka," tulis hakim.

Terkait kekhawatiran pemohon adanya potensi bahwa penyidik menerbitkan surat perintah penyidikan dan menetapkan tersangka berulang-ulang dengan alat bukti yang sama dan hanya melakukan sedikit perubahan pada materi perkara, MK menilai hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma Pasal 83 ayat (1) KUHAP, melainkan masalah implementasi.