Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini mengusulkan agar Komisi I DPR RI memanggil Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Pemanggilan ini agar Gatot memberikan klarifikasinya atas isu pembelian 5.000 senjata ilegal oleh lembaga non militer.
Jazuli menuturkan, penjelasan Gatot penting karena informasi yang seharusnya hanya berada di forum internal kini menjadi polemik publik. Jazuli mengatakan, penjelasan langsung dari Gatot diperlukan agar berbagai praduga di masyarakat bisa segera diatasi.
"Karena ini sudah menjadi konsumsi publik maka perlu mendapatkan penjelasan yang utuh. Supaya tidak ada simpang-siur pemahaman, tidak ada simpang-siur praduga-praduga," kata Jazuli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/9).
Dia berharap, pemanggilan Panglima TNI oleh Komisi I dapat dilakukan secepatnya. "Awal bulan depan mungkin ya. Ini kan sudah di akhir bulan," kata Jazuli.
Adapun terkait isu manuver politik yang diduga dilakukan Gatot, Jazuli enggan menjawabnya. Menurut Jazuli, alangkah baiknya jika Gatot terlebih dulu menjelaskan duduk perkara pernyataannya dalam forum silaturahmi bersama para purnawirawan TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9) lalu.
"Saya kira sebelum bicara mengenai unsur politis lebih baik dibuktikan dulu apa itu maksudnya," kata Jazuli.
Jenderal Gatot sebelumnya menyatakan adanya pembelian 5.000 senjata ilegal karena dilakukan oleh lembaga nonmiliter dan mencatut nama Presiden Jokowi. Gatot menyatakan siap mengambil tindakan terhadap masalah tersebut.
(Baca: Pemerintah Pinjam Rp 15,2 Triliun untuk Beli Senjata di 2018)
Pernyataan ini menimbulkan polemik di masyarakat. Direktur Imparsial Al-Araf mengatakan pernyataan Gatot tidak tepat dilontarkan seorang Panglima TNI. Selain itu, hal ini juga tidak sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Intelijen.
Gatot menyebut informasi yang disampaikanya merupakan bagian dari hasil penyelidikan intelijen. Menurut Araf, informasi intelijen seharusnya langsung disampaikan kepada Presiden, bukan ke publik.
"Hakikat dari informasi intelijen sesungguhnya bersifat rahasia, sehingga langkah Panglima TNI menyampaikan informasi intelijen ke publik jelas tindakan salah dan keliru," kata Araf dalam keterangan persnya, Senin (25/9).
Araf menilai informasi intelijen yang disampaikan Gatot memiliki tingkat keakuratan yang lemah. Padahal prinsip kerja intelijen itu seharusnya velox et exactus (cepat dan akurat).
(Baca: DPR Tak Awasi Pengadaan Impor Senjata untuk BNN)
Apalagi langsung ada bantahan resmi dari Menteri Koordinator Wiranto, bahwa informasi yang ada hanyalah pengadaan 500 pucuk senjata laras pendek buatan PT Pindad (Persero) oleh Badan Intelijen Negara (BIN) untuk keperluan pendidikan intelijen.
Masalah keakuratan ini bukan hanya persoalan miskomunikasi. Lebih dari itu, menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam sikap dan tindakan Gatot serta dunia intelijen dalam menjaga kerahasiaan dan akurasi data.
"Langkah Panglima TNI menyampaikan informasi intelijen di depan publik dan bukannya kepada Presiden seperti diatur dalam UU intelijen, merupakan bentuk fetakompli, berdimensi politis, menimbulkan polemik, serta dapat menggangu situasi keamanan itu sendiri," kata Araf.