Korupsi Pamekasan Terbongkar, KPK Desak Transparansi Dana Desa

ANTARA FOTO/Jojon
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) bersama pejabat penegak hukum lain saat akan memberikan pelatihan di Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (31/7).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
4/8/2017, 07.59 WIB

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mendesak perbaikan tata kelola dana karena rawan dikorupsi. KPK baru saja membongkar penyelewengan dana desa yang menyeret Bupati Pamekasan Achmad Syafii dan Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya.

Agus mendorong pengelolaan dana desa lebih transparan sehingga, masyarakat dapat ikut serta dalam pemantauan pengelolaan dana desa. "Tata kelolanya alangkah baiknya jika keikutsertaan masyarakat juga didorong. Jadi sistem yang ada perlu bagaimana itu menjadi lebih transparan," kata Agus di Jakarta, Kamis (3/8).

Selain itu, kata Agus, perlu adanya keterlibatan berbagai pihak dalam mengawasi pengelolaan dana desa. Apalagi dana desa tidak sedikit, selama 2017, pemerintah mengucurkan Rp 60 trilyun untuk dibagikan ke 74.910 desa.

Pelaksana Tugas Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Taufik Madjid mengatakan telah melakukan sosialisasi berulang kali agar desa tidak menyalahgunakan dana yang diberikan pemerintah.

"Kami sudah berulang kali sosialisasi bersama KPK, Kemenkeu, Kemendagri, BPKP. Tapi masih ada saja kasus," ucap Taufik di Sarinah, Jakarta.

(Baca: Atasi Ketimpangan, Pemerintah Ubah Formula Distribusi Dana Desa)

Kementerian Desa dan PDTT berencana mengeluarkan rekomendasi kebijakan agar kasus korupsi dana desa tak lagi terulang. Taufik mengakui ada 600 laporan pelanggaran pengelolaan dana desa dengan 60 laporan penyelewengan dana desa yang telah disampaikan ke KPK. Sementara itu, terdapat 200 laporan pelanggaran administrasi terhadap pengelolaan dana desa.

"Kami akan lakukan pendalaman dan mencari solusi rekomendasi kebijakan seperti apa yang harus diambil supaya tidak lagi terulang," kata Taufik.

Selain itu dia akan meningkatkan pengawasan dengan berkoordinasi bersama Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kapasitas dalam mengawasi perangkat desa.

"Kami sudah koordinasi, sudah coba menghubungi teman-teman di sana (Kemendagri) untuk ambil langkah secara cepat," kata Taufik.

KPK sebelumnya melakukan OTT terhadap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya. Ia ditangkap karena diduga menerima suap sebesar Rp 250 juta terkait kasus penyalahgunaan dana desa.

(Baca: Dana Daerah 'Nganggur' di Bank Rp 222,6 Triliun, Jakarta Terbesar)

Rudy diduga menerima uang dari Kepala Desa Dassok Kecamatan Pademawu, Agus Mulyadi dan Kabag Administrasi Inspektorat Kabupaten Pamekasan, Noer Solehhoddin kepada Rudy di rumah dinasnya. Penyerahan tersebut dilakukan melalui Kepala Inspektorat Sucipto Utomo.

Sebelumnya, Agus Mulyadi telah dilaporkan sebuah LSM ke Kejari Pamekasan atas dugaan korupsi terkait pengadaan menggunakan dana desa. Nilai proyek pengadaan infrastruktur tersebut Rp 100 juta dan diduga ada kekurangan volume.

Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Kejari Pamekasan dan dilakukan pengumpulan bahan keterangan. Untuk mengamankan kasus tersebut diduga dilakukan komunikasi kepada para pihak di Kejari Pamekasan dan pejabat di Pemerintahan Kabupaten Pamekasan.

Dalam kasus tersebut, KPK menetapkan Rudy, Agus Mulyadi, Sucipto, dan Noer sebagai tersangka. Selain itu, KPK juga menetapkan Bupati Pamekasan Achmad Syafii.

(Baca: Rentan Penyelewengan, Jokowi Minta Dana Desa Dikawal dan Diawasi)

Selain itu, KPK juga mengamankan Kepala Seksi Intel Sugeng, Kepala Seksi Pidana Khusus Eka Hermawan, staf Kejari Indra Permana, Ketua Persatuan Kepala Desa Pamekasan Muhammad Ridwan, dan seorang sopir di rumah dinas Rudy.

Sebagai pihak yang diduga penerima, Rudy disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001.

Agus Mulyadi, Sucipto, dan Noer diduga sebagai pemberi. Sementara, Syafii diduga sebagai pemberi atau yang menganjurkan memberi.

Mereka berlima disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001.