Kerugian Kontrak JICT Rp 4 Triliun, DPR Akan Panggil Menteri Rini

Agung Samosir|KATADATA
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
11/7/2017, 21.36 WIB

Panitia Khusus Pelindo II berencana meminta penjelasan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno terkait perpanjangan kerjasama pengoperasian terminal peti kemas Jakarta International Container Terminal (JICT) antara PT Pelindo II dengan Hutchison Port Holdings (HPH).

Audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan berbagai penyimpangan dalam perpanjangan kontrak JICT dengan kerugian negara hingga US$ 306 juta atau setara Rp 4,08 triliun. Perhitungan kerugian negara berdasarkan pada kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima PT Pelindo II dari HPH saat memperpanjang kontrak selama 25 tahun, mulai 2014-2039.

Anggota Pansus Pelindo II dari fraksi PKB, Daniel Johan mengatakan, Rini perlu dimintai keterangan untuk menggali informasi lebih jauh mengenai perpanjangan kontrak. Kontrak perpanjangan kerjasama ditandatangani Rini mewakili pemerintah sebagai pemegang saham di Pelindo II.

"Siapa pun yang punya informasi penting yang memang bisa mengungkapkan atau menjadi bagian dari hasil temuan, akan kami agendakan untuk memberikan keterangan," kata Daniel kepada Katadata, Selasa (11/7).

(Baca: Lino: Jonan Setuju Hutchinson Perpanjang Kontrak JICT)

Di samping itu, Pansus Pelindo II juga akan menyerahkan tindak lanjut hasil temuan tersebut kepada Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  "Siapa saja yang terlibat, yang menjadi bagian dari hasil investigasi itu akan menjadi tanggung jawab penegak hukum," kata Daniel.

Juru Bicara BPK Yudi Ramdhan mengatakan, berbagai penyimpangan itu terjadi akibat adanya pertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam beberapa rangkaian proses perpanjangan kerjasama.

"Jadi ada sebuah penyimpangan yang sangat berkaitan hingga perpanjangan itu disetujui. Ini semua prosesnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," kata Yudi di Gedung BPK, Jakarta, Selasa (11/7).

BPK menemukan lima poin penyimpangan yang diduga terjadi ketika proses perpanjangan kerjasama terminal peti kemas JICT. Pertama, rencana perpanjangan kerjasama peti kemas JICT tidak pernah dibahas dan dimasukkan sebagai Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT Pelindo II.

(Baca: Komite Pengawas Dukung Perpanjangan Kontrak JICT)

Kedua, perpanjangan perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian terminal peti kemas JICT ditandatangani PT Pelindo II dan pihak HPH tanpa adanya permohonan Izin Konsesi kepada Menteri Perhubungan. Ketiga, penunjukan HPH sebagai mitra dalam perpanjangan perjanjian kerjasama tersebut tanpa melalui mekanisme pemilihan mitra yang seharusnya.

Keempat, perpanjangan perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian terminal peti kemas JICT ditandatangani oleh Pelindo II dan HPH meskipun belum ada Persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan persetujuan Menteri BUMN.

Kelima, penunjukan Deutsche Bank (DB) sebagai financial advisor oleh PT Pelindo II dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan peraturan perundangan. Selain itu, hasil kerja DB berupa valuasi nilai bisnis dalam kontrak tersebut diduga dipersiapkan untuk mendukung tercapainya perjanjian kerjasama dengan mitra lama (pihak HPH) dan bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Penyimpangan yang terjadi terkait penunjukan DB terindikasi melalui ketiadaan owner estimate yang dimiliki direksi PT Pelindo II sebagai acuan dalam menilai penawaran dari HPH. Penawaran penilaian tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pihak DB.

Laporan audit investigasi telah diserahkan kepada Tim Pansus Pelindo II di DPR. Audit dibuat atas permintaan Pansus Pelindo II pada tahun lalu. Selain itu, Pansus juga meminta BPK melanjutkan audit investigatif selanjutnya terkait Global Bond dan Proyek Kali Baru Pelindo II.

Reporter: Dimas Jarot Bayu