Komisi Energi (Komisi VII) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menggodok draf revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Salah satu poin yang tengah dibahas adalah penghapusan hukuman penjara terhadap tindak pidana dalam kegiatan industri migas.
Untuk membahas opsi tersebut, Komisi Energi ini mengundang tiga ahli hukum, yaitu Muladi, Ganjar Laksmana Bonaprapta dan Andi Hamzah. Mereka hadir dalam rapat tertutup Komisi Energi DPR selama 2,5 jam di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (11/10). (Baca: Revisi Undang-Undang, DPR Belum Bulat Sikapi Status SKK Migas)
Gandjar, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, mengatakan UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 memang perlu direvisi karena ada beberapa hal yang sudah tidak relavan lagi. Contohnya mengenai ketentuan pidana dalam Pasal 51 hingga 58 Undang-Undang Migas. Hukumannya bisa berupa denda dan penjara yang bervariasi mulai dari 1 tahun hingga paling lama 6 tahun.
Menurut Gandjar, hukuman kurungan tersebut dapat ditiadakan dalam revisi UU Migas. "Sebab secara umum ini pelanggaran administratif. Tidak tepat dengan sanksi pidana penjara, apalagi sampai enam tahun," katanya kepada Katadata di sela-sela rapat.
Ia mengusulkan, pelanggar UU Migas lebih baik dijatuhi hukuman denda seberat-beratnya. Bahkan, jika perlu pelakunya dimiskinkan sehingga aset yang dimiliki pelaku dari tindakan pidana tersebut habis. "Orang punya duit itu tidak takut dipenjara. Kalau dia dipenjara duitnya bisa berlaku, tapi begitu izinnya dicabut perusahaan ditutup dan hartanya dirampas itu dia pusing kan," kata Gandjar.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Mulyadi mengatakan akan menampung saran yang diberikan pakar hukum tersebut. Menurut dia, sanksi administratif yang diusulkan Gandjar lebih baik diterapkan pada peningkatan dendanya saja. (Baca: Pemerintah Usulkan Prinsip Assume and Discharge Masuk RUU Migas)
Apalagi, pembayaran denda yang lebih besar membuat pelakunya dapat mengganti kerugian negara. "Jangan sampai pidana tapi akhirnya negara yang harusnya mendapat triliunan rupiah tapi hal tersebut tidak didapat karena pelakunya hanya dipenjara," kata Mulyadi.
Poin pembahasan lain dalam revisi UU Migas adalah pola penyusunan bab ketentuan hukum. Misalnya, saat ini pasal-pasal yang terkait ketentuan pidana dinilai masih berbelit karena tidak diatur dalam satu kesatuan bab. Menurut Mulyadi, hal ini menimbulkan ketidakjelasan. “Muter-muter. Kami maunya tidak harus lagi lihat pasal sekian kemudian lihat pasal sekian."
(Baca: Serikat Pekerja Tolak SKK Migas di Bawah Menteri dan Pertamina)
Sementara itu, anggota Komisi VII dari Fraksi Golkar Dito Ganinduto mengatakan, usulan dari pakar hukum tersebut akan dimasukkan dalam pembahasan bab ketentuan pidana. Sebab, saat ini Komisi VII baru membahas revisi RUU Migas mengenai hulu migas. "Kami baru bahas Pasal 25 kalau tidak salah," kata dia.