Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono mengakatan belum memutuskan untuk melonggarkan ekspor konsentrat atau tetap melarang ekspor hasil tambang mineral itu pada tahun depan. Selain masih dibahas pemerintah, juga perlu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara.

“Saya tidak bisa mengatakan itu (relaksasi ekspor), karena menjadi keputusan bersama pemerintah. Jadi kita tunggu saja dalam pembahasannya nanti di undang-undang ya,” kata Bambang. (Baca: Luhut: Rekomendasi Izin Ekspor Freeport dari Sudirman Said).

Walau demikian, dia melanjutkan, tidak menutup kemungkinan relaksasi. Pertimbangannya, konsentrat hasil pertambangan sudah memiliki nilai tambah besar walau belum dimurnikan.Oleh karena itu, dia meminta DPR segera membahas revisi Undang-Undang Minerba. Di dalamnya bisa disisipkan pasal yang mengatur tentang ekspor konsentrat.

Bambang berharap revisi kelar sebelum 2017. Dengan demkian pembahasannya dikebut di sisa akhir tahun ini. “UU Panas Bumi juga cepet selesai. Kemarin, kebetulan saya juga anggotanya,” ujarnya. (Baca: Menteri Arcandra Dicopot, Izin Ekspor Freeport Tetap Sah).

Wacana relaksasi ekspor ini sudah lama mencuat dan memicu pro-kontra. Penolakan, misalnya, datang dari Komite Ekonomi dan Industri Indonesia (KEIN). Komite menganggap proses hilirisasi harus dikedepankan untuk menciptakan nilai tambah bagi komoditas tambang, yaitu dengan membangun pabrik pengolahan dan pemurinian mineral atau smelter.

Ketua Komite Soetrisno Bachir mengatakan relaksasi izin ekspor minerba bertentangan dengan semangat penciptaan nilai tambah bagi produk pertambangan. Oleh karena itu, Komite mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk menolak rencana tersebut.

“KEIN sangat tidak setuju dengan rencana relaksasi ekspor mineral dan batu bara,” kata Soetrisno kepada Katadata usai acara Workshop Media, di Hotel Novotel, Bogor, Minggu, 14 Agustus 2016. (Baca: Pemerintah Pastikan BUMN Ambil Alih Freeport).

Menurutnya, pelonggaran izin ekspor minerba dapat membuat proses hilirisasi tidak berjalan. Walau, di sisi lain dia membenarkan bahwa pada awal larangan ekspor akan berdampak pada berkurangnya penerimaan negara dari sektor ini.

Namun dia yakin, pada beberapa tahun kemudian, industri minerba dapat meningkatkan ekspor dengan nilai tambah yang lebih tinggi. “Jika harga barang Rp 1.000, ditambah proses dengan biaya Rp 1.000, harganya bisa menjadi Rp 10.000 atau Rp 20.000,” ujar Soetrisno.

Selama ini, dia melanjutkan, Indonesia terlalu terlena dengan menjual komoditas tambang ke luar negeri secara besar-besaran. Hal itu dilakukan ketika harga komoditas masih tinggi. Kini, langkah tersebut justru menjadi bomerang bagi Indonesia di saat harga komoditas terpuruk.

Kebiasaan mengekspor bahan baku inilah yang kemudian menjadikan Indonesia melupakan proses hilirisasi. Padahal, ada keuntungan yang sangat besar apabila hal tersebut melaui proses hilirisasi. (Baca: Penerimaan Bea Keluar Freeport dan Newmont Masih Rendah).