Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar memiliki setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Di sektor minyak dan gas bumi (migas), setidaknya ada 30 program strategis mulai dari hulu hingga hilir yang membutuhkan sentuhannya.

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, Menteri ESDM mengadakan rapat perdana dengan beberapa pejabat di Kementerian ESDM pada Kamis ini (28/7). Rapat itu memang baru sebatas perkenalan mengenai tugas pokok dan fungsi, pejabat, dan program strategis. (Baca: Luhut Bantu Candra Dobrak Masalah Kementerian Energi)

Dalam rapat, Wiratmaja memaparkan, setidaknya ada 30 program strategis yang harus diselesaikan mulai hulu hingga hilir. Yang paling atas adalah penyelesaian revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. 

Ia tidak menyebutkan target waktu penyelesaian RUU Migas. Sebab, pembahasan itu merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Yang jelas, diharapkan payung hukum itu bisa selesai tahun ini.

Menteri ESDM juga belum menyampaikan arahannya untuk program tersebut. “Minggu depan akan ada pembahasan satu per satu dan bahas khusus migas saja,” kata Wiratmaja seusai rapat pimpinan di Kementerian ESDM, Jakarta tersebut.

Selain itu, ada di sektor hulu migas ada juga beberapa proyek strategis yang harus diselesaikan. Seperti pengembangan blok migas yang ada di kawasan Natuna, Masela, Jambaran-Tiung Biru, dan Indonesia Deepwater Development (IDD).

Dalam acara serah terima jabatan dari Sudirman Said, Rabu (27/7) sore, Arcandra juga mengatakan UU Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 tahun 2001 memang perlu diperbaiki. Alasannya, tantangan yang dihadapi sekarang berbeda dengan kondisi dan asumsi yang dipakai sewaktu beleid itu dibuat. (Baca: Era Sudah Berubah, Menteri Arcandra Fokus Revisi UU Migas)

Menurut Arcandra, UU migas yang baru harus bisa menjawab kondisi migas saat ini. Sebab, era ladang minyak besar dengan kondisi geologi mudah dan ditunjang dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai, sekarang sudah berlalu.

Saat ini adalah era lapangan marjinal, lepas pantai termasuk laut dalam, tightdan shale oil dan gas, serta Enhanced Oil Recovery. “Era baru ini diperparah oleh lokasi yang terpencil dan infrastruktur yang minim,” kata dia.

 Selain itu, Indonesia sekarang menghadapi tantangan produksi yang terus menurun dan rasio pengembalian cadangan yang sangat rendah. Tapi, pemerintah tidak boleh berpangku tangan menghadapi kondisi itu.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, membuat proses bisnis yang lebih efisien, transparan dan terukur. Kedua, sumber daya manusia yang kompeten yang ditunjang dengan skill, pengetahuan dan pengalaman. (Baca: Hadapi Minyak Murah, Kontraktor Migas Perlu Terobosan Teknologi)

Ketiga, memanfaatkan teknologi yang tepat guna dan tepat sasaran. “Amerika Serikat bisa menaikkan produksi minyaknya sebanyak dua kali lipat dalam waktu tujuh tahun dengan bantuan teknologi dan ditunjang bisnis proses dan sumber daya manusia yang kompeten,” ujar dia.