Pengembangan Blok East Natuna tampaknya bakal memakan waktu lama dan membutuhkan biaya yang besar. GE Oil and Gas memperkirakan kebutuhan biaya pengembangan blok minyak dan gas bumi di Laut Natuna, Kepulauan Riau, tersebut sangat besar karena teknologi yang digunakan harus dipersiapkan secara khusus.
Presiden Direktur GE Oil and Gas Iwan Candra mengatakan, masalah utama di Blok East Natuna adalah cadangan gasnya banyak mengandung karbondioksida (CO2). Hampir 70 persen cadangan gas di blok tersebut mengandung CO2. Blok yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan ini juga diperkiraan memiliki volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan terbuktinya 46 tcf. (Baca: Kontrak Blok East Natuna Masih Menunggu 2018)
Menurut Iwan, permasalahan CO2 ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Blok East Natuna. Blok-blok lain seperti di Kuala Langsa juga memiliki CO2 yang lumayan tinggi mencapai 60 persen. Tapi, khusus pada Blok East Natuna, CO2 yang dihasilkan sulit untuk dibuang.
CO2 yang ada di blok tersebut harus terlebih dulu dikeluarkan terlebih dahulu dari perut bumi. Setelah itu, disuntik kembali ke dalam perut bumi. Selain itu, membutuhkan reservoir atau tempat penampungan besar untuk menampung CO2 yang akan disuntikkan kembali. Jadi, rangkaian proses tersebut membutuhkan dana yang besar. “Mahal karena butuh teknologi khusus,” katanya di Jakarta, Selasa (24/5).
Menurut Iwan, selama berbagai masalah tersebut belum diselesaikan maka Blok East Natuna tak bisa dikembangkan. Sebab, perhitungannya menjadi tidak akan ekonomis. (Baca: Teknologi Blok East Natuna Baru Digunakan Lima Tahun Lagi)
Demi mengatasi masalah tersebut, Sekretaris Komite Eksplorasi Nasional (KEN) Muhammad Sani mengatakan, saat ini timnya yang beranggotakan 10 orang internal KEN tengah mengkaji desain induk (grand design) pengembangan Blok East Natuna. Hasilnya akan disampaikan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam waktu dekat ini, yaitu bulan depan.
(Baca: Perpanjangan Blok Natuna, di Antara Kepentingan Amerika dan Cina)
Salah satu poin yang dibahas dalam tim khusus tersebut mengenai penggunaan fasilitas produksi bersama lintas kontraktor migas yang mengelola blok di cekungan East Natuna tersebut. Mengingat saat ini fasilitas produksi di East Natuna masih minim. Belum adanya fasilitas produksi yang masif di East Natuna membuat kontrak kontrak kerjasama migas (KKKS) di wilayah tersebut sulit mengembangkan lapangan migasnya. Apalagi, di tengah tren harga minyak dunia yang rendah dan belum membaik saat ini.
Sementara itu, pemerintah tengah menyiapkan teknologi khusus untuk Blok East Natuna. Tapi teknologi tersebut baru bisa digunakan lima tahun ke depan. Menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja, teknologi untuk menciptakan tempat penyimpanan dan pengumpulan karbon atau carbon capture and storage (CCS) ini sekarang masih dalam tahap pengkajian dan uji coba. (Baca: KEN Usulkan Dua Poin untuk Pengembangan Blok East Natuna)
Di sisi lain, Sani mengatakan, minimnya aktivitas pengembangan Blok East Natuna juga disebabkan oleh memanasnya kondisi geopolitik di zona perbatasan Laut Cina Selatan. Di wilayah kerja Natuna saat ini mulai dimasuki banyak nelayan asal Cina yang dapat memicu konflik di zona perbatasan. "Akan jauh lebih baik kalau Indonesia punya kegiatan di area-area perbatasan itu," kata dia kepada Katadata pekan lalu.
Sekadar informasi, kontraktor Blok East Natuna saat ini adalah PT Pertamina (Persero) dengan porsi hak kelola sebesar 35 persen. Adapun mitranya adalah ExxonMobil, PTT Thailand dan Total E&P Indonesie, dengan porsi maisng-masing 35 persen, 15 persen, dan 15 persen.