Kisruh Pengembangan Hotel Indonesia Masuk DPR

ARIEF KAMALUDDIN | KATADATA
Penulis: Muchamad Nafi
22/4/2016, 07.00 WIB

Langkah Kejaksaan merupakan tindak lanjut dari audit Badan Pemeriksa Keuangan yang kelar pada Desember tahun lalu. Di sana disebutkan kasus ini bermula dari rencana PT Hotel Idonesia Natour memperbaiki belasan hotel yang dimilikinya pada awal 2000-an. Dalam catatan Katadata, ketika itu ada 52 calon investor mendaftar tender. Namun dari puluhan perusahan tadi, hanya delapan yang menyatakan minat. Jumlah ini pun menyusut tinggal lima korporasi yang membeli dokumen pengembangan.

Pada 2003, dari lima perusahan tersebut, hanya proposal PT Cipta Karya Bumi Indah yang masuk ke PT HIN. Anak usaha Grup Djarum itu berminat mengembangkan Hotel Indonesia-Inna Wisata, hotel PT HIN yang berlokasi di Bundaran Indonesia, Jakarta. (Baca juga: Rini Soemarno Tunjuk Deputi BUMN Jadi Wakil Komut Pertamina).

Negosiasi berjalan setahun lebih. Pada Mei 2004 disepakati PT HIN menerima kompensasi Rp 355 miliar untuk kerja sama 30 tahun. Dalam kesepakatan itu pun diputuskan kontrak bisa diperlama 20 tahun dengan kompensasi minimal Rp 400 miliar atau seperempat dari Nilai Jual Objek Pajak ketika perpanjang dilakukan. Lalu didirikanlah PT Grand Indonesia sebagai perusahaan yang mengerjakan proyek.  

Namun audit BPK kemudian menyatakan PT Grand Indonesia menyalahi kontrak build operation transfer tersebut dengan membangun Menara BCA yang memiliki 56 lantai setinggi 230 meter itu. Selain itu, ada pula Apartemen Kempinski yang diisi 263 unit. Menurut BPK, hal ini tidak sesuai dengan dokumen term of reference yang disusun bersama Kementerian BUMN. Selain itu, perpanjangan yang dipercepat, dilakukan pada 2010, juga dianggap berpotensi merugikan negara bila ditinjau dari NJOP pada akhir kontrak pertama.

Kepada majalah Tempo pada awal bulan lalu, Asisstant Manager Public Relation PT Grand Indonesia Dini Widodo menyatakan perusahaannya bertindak sesuai kontrak. Menurut dia, pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski tidak melanggar ketentuan. Dia menyitir akta kerjasama yang menyebutkan bahwa di sekitar Hotel Indonesia bisa dibangun gedung dan fasilitas penunjang. “Yang kami lakukan tercantum dalam perjanjian BOT,” kata Dinia.

Pandangan tersebut didukung Konsultan Hukum HIN Arie Hutagalung & Partner. Dalam dokumen yang dimiliki Katadata, mereka menyatakan kata “antara lain” dalam definisi gedung dan fasilitas pendukung, yang tercantum pada Pasal 1.2 perjanjian BOT, membuka kesempatan untuk mendirikan bangunan lainnya di luar yang sudah didefinisikan. Karena itu, dimungkinkan membangun gedung perkantoran di atas tanah objek kerja sama oleh pihak Grand Indonesia.

Apalagi, kata mereka, penambahan jenis bangunan justru menguntungkan PT HIN, karena kerjasama HIN-Grand Indonesia berupa BOT, bukan perjanjian sewa-menyewa. Sehingga, pada akhir masa pengelolaan, PT HIN akan memperoleh aset dengan nilai jauh lebih besar di akhir masa kontrak. Yaitu, mendapatkan lebih banyak bangunan daripada yang diatur dalam perjanjian BOT.

Melihat perkembangan tersebut, DPR berencana meneruskan pembahasan sengkarut ini. Komisi VI akan memanggil kembali sejumlah nara sumber di luar dua tokoh tadi untuk menggelar rapat dengar pendapat lanjutan.

Catatan: Artikel ini telah diperbarui dengan penambahan data-data baru.

Halaman:
Reporter: Miftah Ardhian