KATADATA - Pemerintah sedang menyiapkan salah satu teknologi khusus untuk mengembangkan Blok East Natuna yang terletak di perairan Laut Natuna. Teknologi ini diperlukan karena Blok East Natuna memiliki kandungan karbondioksida (CO2) yang tinggi. Sehingga menyebabkan pengembangan lapangan tersebut tertunda.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan teknologi yang sedang disiapkan saat ini adalah dengan membangun tempat penyimpanan dan pengumpulan karbon atau carbon capture and storage (CCS). Bahkan pemerintah sedang menyiapkan proyek percontohan CCS di Gundih. Dengan begitu program ini diharapkan mampu mendorong penelitian bersama antara perguruan tinggi, lembaga penelitian pemerintah dan industri. (Baca: KEN Usulkan Dua Poin untuk Pengembangan Blok East Natuna)
Proyek percontohan CSS di Gundih ini akan dikembangkan sebagai uji coba pertama untuk mempelajari paktek penangkapan CO2, pengangkutan, penyimpanan dan pemanfaatan. Dari proyek tersebut akan diteliti lebih lanjut aspek teknis, manajemen dan pengaturan yang perlu dikembangkan. Hal ini disampaikan Wiratmaja dalam acara Simposium Internasional CCS yang mengambil topik: Present and Future of CCS yang dilaksanakan di Gedung JA-KYOSAI Building Conference Hall, Tokyo.
Indonesia kata Wirat memerlukan teknologi CCS untuk memproduksikan lapangan-lapangan migas dengan kadungan gas CO2 atau gas pengotor lainnya yang tinggi seperti Blok East Natuna. “Lapangan gas Natuna dengan gas in place 222 triliun kaki kubik (tcf) dan 70 persen kandungan CO2 memerlukan teknologi CCS untuk produksinya,” kata dia dikutip dari situs resmi Direktorat Jenderal Migas, Senin (22/2). Nantinya CO2 tersebut dapat digunakan untuk proses peningkatan perolehan minyak (enhanced oil recovery/EOR) untuk lapangan minyak di Indonesia. (Baca: Kontrak Blok East Natuna Masih Menunggu 2018)
Selain untuk pengembangan Blok East Natuna, kepentingan Indonesia mengembangkan teknologi CCS ini adalah pengurangan emisi. Ini sejalan dengan komitmen Indonesia yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam COP 21 di Paris untuk menjaga stabilitas atmosfer dengan mengurangi gas rumah kaca. Dengan teknologi ini diharapkan target untuk menurunkan emisi 29 secara mandiri dapat tercapai.
Untuk mewujudkan teknologi tersebut, pemerintah Indonesia kata Wirat juga sudah melakukan penelitian secara serius. Dari segi pendanaan, dia juga mengatakan ada bantuan dari negara lain atau lembaga keuangan internasional seperti Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB), Japan Internasional Cooperation Agency (JICA), Bank Dunia, pemerintah Inggri dan Norwegia. Saat ini pemerintah juga telah menyeleksi beberapa lapangan minyak yang dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan CO2. Selain itu juga mencari lapangan yang dapat dilakukan peningkatakan perolehan minyak atau enhanced oil recovery (EOR) dengan memanfaatkan CO2. (Baca: Awal Tahun, Lifting Minyak Hampir Capai Target 830 Ribu Barel)
Dalam simposium yang dihadiri oleh lebih dari 60 peserta dari Jepang, Amerika, Indonesia dan negara lainnya itu, Wirat juga menyampaikan perubahan paradigma pengelolaan energi di Indonesia. Dengan paradigma baru, Indonesia akan membangun infrastruktur energi secara masif khususnya di Indonesia bagian timur. Investasi yang diperlukan diperkirakan akan mencapai US$ 24.3 milyar. Indonesia mengundang investasi untuk sektor energi khususnya minyak dan gas bumi. Agar investor tertarik, pemerintah kata dia secara serius sedang memperbaiki iklim investasi dengan penyederhaan regulasi dan penerapan tata kelola yang baik di sektor minyak dan gas bumi.