(Baca: ESDM Minta Kontrak Penjualan Minyak Blok Cepu ke Swasta Diperpanjang)    

Harga minyak yang rendah memang sempat menimbulkan kekhawatiran akan mengganggu target lifting. Selama 11 tahun terakhir, realisasi lifting minyak memang tidak pernah mencapai target. Bahkan terus menurun dari 1 juta barel di 2004.

Sepanjang 2015, lifting minyak hanya mencapai 777.560 bph. Salah satu penyebab target tersebut tidak tercapai adalah seretnya produksi di Blok Cepu. Pangkal soalnya adalah aksi unjuk rasa pekerja yang berakhir kisruh pada Agustus tahun lalu yang mengganggu produksi Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, yang dikelola ExxonMobil Cepu Limited. Produksi hingga akhir tahun yang ditargetkan bisa lebih dari 100 ribu bph pun hanya dapat terealisasi sebesar 80 ribu bph.

(Baca: Anjloknya Harga Minyak Mengancam Target Lifting)

Selain Banyu Urip, ada beberapa proyek blok migas lain yang mundur dari jadwal. Antara lain Lapangan Ridho yang dikelola oleh PT Odira Karang Agung, Lapangan TBA yang dikelola JOB PetroChina Salawati, Lapangan Bukit Tua yang dikelola Petronas Ketapang, Lapangan Kepodang yang dikelola Petronas Muriah, dan Lapangan Bayan yang dikelola MKI. Ada juga pengaruh penurunan produksi dari sumur milik Pertamina EP dan masalah keekonomian lapangan EMP Tonga dan EMP Gebang. Faktor lain adalah berhentinya kegiatan produksi yang tidak direncanakan (unplanned shutdown) dan faktor global yakni penurunan harga minyak. 

Lifting migas yang meleset turut memukul penerimaan negara pada tahun lalu. Sepanjang 2015, negara hanya mendapat Rp 177,47 triliun atau sekitar 85 persen dari target penerimaan migas dalam APBN-P 2015.

Halaman:
Reporter: Arnold Sirait