SPBU Asing Akan Dikenai Dana Ketahanan Energi

Arief Kamaludin | Katadata
SPBU Shell Cikini
Penulis: Muchamad Nafi
30/12/2015, 19.42 WIB

KATADATA - Dewan Energi Nasional (DEN) menyarankan pemerintah untuk mengambil dana ketahanan energi dari semua jenis Bahan Bakar Minyak (BBM). Anggota DEN Rinaldy Dalimi mengatakan seharusnya pemerintah memungut dana ketahanan ini tak hanya dari Premium dan Solar. Jenis BBM lain seperti Pertamax, Pertadex, Pertalite pun perlu dipungut.

Tak terbatas itu, BBM yang dijual oleh SPBU asing juga harus dikenai dana ketahanan. “Harus. Kalau tidak, kami akan lebih keras lagi (menegur pemerintah) dari ini,” kata Rinaldy di Gedung Diklat Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Rabu, 30 Desember 2015.

Dewan Energi berpendapat, ketika harga minyak mentah turun drastis saat ini, hingga di bawah US$ 40 per barel, seharusnya harga Pertamax dan BBM lainnya ikut turun. Pada posisi ini, jenis-jenis BBM itu bisa dikenai dana ketahanan energi. Namun DEN belum menghitung berapa besaran pungutan yang bisa diambil.

“Saya belum bisa tentukan. Tetapi harusnya bisa lebih timggi,” ujar Rinaldy. Ia berpendapat pengguna Pertamax atau bensin dengan oktan lebih tinggi merupakan masyarakat yang memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan pemakai premium dan solar. (Baca juga: Pertamina: Dana Ketahanan Energi Jadi Keuntungan dari Bisnis BBM).

Pendapat berbeda disampaikan Ahmad Safrudin. Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal ini mengatakan, daripada mengutip pungutan dana ketahanan energi yang tidak jelas basis perhitungannya, pemerintah diminta memberlakukan pungutan pajak karbon untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan.

Menurutnya, praktik pajak karbon ini normal diterapkan di banyak negara maju yang juga mengembangkan energi terbarukan. “Kami sangat mendukung penetapan carbon tax, bahkan sejak 10 tahun lalu,” ujar Safrudin di kantornya, hari ini.

Dengan pajak karbon, kata Safrudin, pengguna BBM yang tidak ramah lingkungan akan membayar lebih mahal ketimbang bahan bakar yang memiliki faktor emisi rendah. Berdasarkan data lembaganya, angka emisi nasional dari Pertamax tergolong paling rendah atau sekitar 2,15 kilogram karbondioksida per liter. Sedangkan Premium dan Solar memiliki angka emisi 2,16 dan 2,66 kilogram karbondioksida per liter.

“Pemerintah bisa menggunakan angka ini sebagai basis perhitungan pajak karbon, misalnya dengan dikalikan Rp 100 per angka emisi tadi,” ujar Safrudin. (Baca: Ribut Dana Ketahanan Energi, Menteri Sudirman Konsultasi ke DPR).

Hal lain yang dikritisi oleh Komite adalah payung hukum dana ketahanan energi yang belum jelas. Ketiadaan landasan peraturan ini berpotensi mengundang pelanggaran hukum atau penyelewengan pungutan yang mencapai Rp 15 triliun ketika nanti mulai diberlakukan pada awal tahun depan. Sebab, Undang-Undang Energi Nomor 30 Tahun 2007 tidak menjelaskan secara detil mengenai dana ini.

Karena itu, dia berharap masukan lembaganya ditundaklanjuti pemerintah. Apalagi dana ketahanan ini sebenarnya positif apabila digunakan untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan.

Polemik dana ketahanan energi muncul setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melempar wacana tersebut pada pekan lalu. Rencananya, seiring dengan diturunkannya harga BBM mulai 5 Januair 2016, pemerintah akan memasukkan komponen dana ketahanan ke Premium dan Solar. Premium diturunkan dari Rp 7.300 per liter menjadi Rp 6.950 perliter, lalu ditambah Rp 200 per liter untuk dana ketahanan sehingga harganya menjadi Rp 7.150 per liter. Sedangkan harga solar berkurang dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.650 perliter, lalu ditambah Rp 300 per liter untuk dana ketahanan menjadi Rp 5.950 perliter.

Sontak, rencana ini mendapat kritik Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka meminta pemerintah menunda rencana tersebut karena dasar peraturannya belum jelas. “Kami minta pemerintah mengkaji ulang dan baru diterapkan begitu payung hukum sudah ada,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha saat dihubungi Katadata. (Lihat pula: Dana Ketahanan Energi Disimpan di Rekening BLU Sawit).

Menaggapi hal itu, Sudirman mengatakan akan berkonsultasi dengan DPR. “Mudah-mudahan sebelum 5 Januari 2016 aturan pelaksana sudah ada. Dan mengenai DKE akan kaimi konsultasikan ke DPR,” kata Sudirman.

Reporter: Miftah Ardhian, Ameidyo Daud Nasution