KATADATA - Gaduh pencatutan nama Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia belum mereda. Setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan DPR karena dianggap melanggar etika, mata publik juga tertuju ke sosok lain yakni Luhut.
Ketika melapor ke Mahkamah Kehormatan, selain menyertakan surat pengaduan, Sudirman melampirkan transkrip rekaman pembicaraan tiga orang dengan inisial SN, MR, dan MS yang diduga hendak mengatur perpanjangan perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia itu. Ketiganya ditengarai sebagai Setya Novanto, pengusaha minyak dan gas M. Reza Chalid, dan Presiden Direktur Freeport Maroef Sjamsuddin. Nama Luhut muncul dalam transkrip itu. (Baca juga: Kalla akan Laporkan Setya Novanto ke Penegak Hukum).
Disebut-sebut, nama tersebut merujuk kepada Menteri Koordinator Bidang Bidang Politik Hukum dan HAM Luhut Binsar Panjaitan. Dalam transkrip rekaman yang beredar di kalangan wartawan pada Senin, 16 November 2015, Setya Novanto menyatakan jika Luhut dan dirinya setuju mengenai perpanjangan kontrak Freeport, Presiden juga akan merestuinya. Untuk meyakinkan hal tersebut, Luhut dikabarkan telah bertemu dengan Chairman Freeport-McMoran Inc James Robert Moffet atau Jim Bob di Santiago, Chili empat tahun lalu.
SN: Kalau nggak salah, Pak Luhut waktu itu bicara dengan Jim Bob. Pak Luhut itu sudah ada yang mau diomongin.
MR: Gua udah ngomong dengan Pak Luhut, ambilah sebelas, kasilhlah Pak JK sembilan. Harus adil, kalau nggak, rebut.
SN: Jadi kalau pembicaraan Pak Luhut dan Jim di Santiago, empat tahun yang lampau itu dari 30 persen itu 10 persen dibayar pakai deviden ... Ini menjadi perdebatan sehingga mengganggu konstalasi ... Ini begitu masalah cawe-cawe itu.
Dalam pertemuan dengan Jim Bob tersebut, Setya menyatkan Luhut meminta agar dari 30 persen saham Freeport yang akan didivestasi, 10 persen dibayar menggunakan deviden. Namun, ide tersebut tidak disukai oleh Presiden Jokowi dan akhirnya menjadi perdebatan.
Selain itu, Luhut juga disebut telah mengetahui saham yang akan diberikan untuk Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam transkrip rekaman tersebut, Reza mengusulkan besaran saham untuk Presiden sebesar sebelas persen dan Jusuf Kalla sembilan persen.
Reza juga menyebutkan keterlibatan Luhut dalam besaran saham untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Rencananya, mencari referensi yang dapat bekerjasama dengan PT. Freeport Indonesia. Dalam skenario ini Freeport hanya akan memiliki saham sebesar 51 persen.
MS: PLTA? Yang mau memiliki sahamnya siapa?
MR: Nomininya Pak ... Dari Pak Luhut.
MS: Dari Pak Luhut?
MR: Saham itu juga memang kemauannya Pak Luhut, gitu. Cari refrensi Freeport dari pengusaha seperti yang dulu dilakukan oleh kita kepada pengusaha.
MR: Pak Luhut itu pernah bicara sama Jim Bob.
Ketika Katadata mengklarifikasi kabar tersebut, Luhut membantah atas semua tudingan yang tercantum dalam transkrip rekaman. “Enggak benar lah,” kata Luhut melalui pesan Whatsapp-nya, Selasa, 17 November 2015.
Sementara itu, Menteri Sudirman Said begitu irit untuk mengomentari atas keterlibatan Luhut sebagaiamana yang disebut dalam pertemuan tiga tokoh tadi. Dia mengaku tidak mengetahui perannyya. “Hanya Tuhan yang Maha Tahu,” ujar dia.
Pada saat melaporkan ke Mahkamah Kehormatan, Sudirman menceritakan anggota DPR yang dia laporkan bersama seorang pengusaha beberapa kali memanggil dan melakukan pertemuan dengan pimpinan Freeport. Pada pertemuan ketiga, anggota DPR tersebut menjanjikan penyelesaian tentang kelanjutan kontrak Freeport di Indonesia. Pertemuan terakhir ini berlangsung sekitar pukul 14.00-16.00 WIB, pada Senin, 8 Juni 2015, di Pacific Place, SCBD, Jakarta Pusat.
“Tindakan ini bukan saja melanggar tugas dan tanggung jawab seorang anggota dewan mencampuri tugas eksekutif tetapi juga mengandung unsur konflik kepentingan. Lebih tidak patut lagi tindakan ini melibatkan pengusaha swasta,” kata Sudirman di Gedung DPR.
Adapun Setya Novanto membantah sebagai orang yang ditudingkan dalam laporan Sudirman tersebut. “Saya selaku pimpinan DPR tidak pernah untuk bawa-bawa nama Presiden atau mencatut nama Presiden,” kata Setya.