Harga Gas Industri Turun, Pertagas Tolak Pangkas Biaya Angkut Gas

Arief Kamaludin|KATADATA
Pekerjaan pipanisasi gas milik Pertamina Gas di Kawasan Marunda, Jakarta Utara.
Penulis: Yura Syahrul
26/10/2015, 18.01 WIB

KATADATA - PT Pertamina Gas (Pertagas) menolak usulan pemerintah untuk menurunkan biaya pengangkutan atau transmisi (toll fee) gas. Agar bisa menurunkan harga gas untuk industri, pemerintah sebaiknya mendorong penurunan margin niaga perusahaan.

"Harapannya yang diturunkan adalah margin niaga gas bukan toll fee,” kata Sekretaris Perusahaan Pertagas Adiatma Sardjito berdasarkan siaran pers Pertagas, Senin (26/10). Pasalnya, margin yang diraup perusahaan transmisi gas seperti Pertagas ini tergolong lebih kecil dibandingkan margin yang diperoleh perusahaan sektor hulu dan distribusi atau niaga gas.

Adiatma mengklaim, rata-rata margin yang diperoleh perusahaan transmisi dari toll fee gas di Indonesia cuma  lima persen. Sedangkan rata-rata margin usaha sejenis di luar negeri sekitar 11 persen atau dua kali lipat lebih tinggi dari pasar di dalam negeri.

Kondisinya berbanding terbalik dengan bisnis distributor dan niagas gas. Rata-rata margin yang dikeruk distributor atau perusahaan niaga gas di dalam negeri  bisa mencapai 35 persen sampai 45 persen. Ini lebih tinggi dari margin usaha sejenis di luar negeri yang sekitar 25 persen. Sedangkan rata-rata margin di sektor hulu gas, baik di pasar internasional maupun di Indonesia, relatif hampir sama sekitar 16 persen.

Di bisnis niaga gas dalam negeri, Pertagas dan perusahaan afiliasinya secara keseluruhan hanya menguasai pangsa pasar sekitar delapan persen dari total volume niaga gas harian sebesar 900 MMSCFD. Jadi, pemain utama bisnis niaga gas adalah para trader dan perusahaan gas lainnya. “Jadi kurang tepat jika menunjuk Pertagas atau Pertamina memiliki peran besar terhadap tingginya harga niaga gas saat ini. Ada perusahaan lain yang memiliki market share niaga gas 10 kali lipat lebih besar dari Pertagas,” ujar Adiatma.

(Baca: Penurunan Harga Gas Industri Bisa Hasilkan Efek Berantai Rp 137 Triliun)

Halaman:
Reporter: Arnold Sirait