"Kalau sekarang bilang di darat lebih mahal itu berarti berlawanan dengan apa yang dia sampaikan awal," ujar dia. 

Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan siaran pers Inpex pada 21 Desember 2010 silam. Dalam siaran pers itu, Inpex mengabarkan bahwa pemerintah telah menyetujui rencana pengembangan Lapangan Abadi, Blok Masela, menggunakan skema FLNG dengan kapasitas produksi 2,5 MTPA. Persetujuan itu setelah Inpex mengajukan proposal POD tersebut pada tahun 2008.

Sedangkan, menurut keterangan Inpex pada tahun 2011, Shell baru masuk sebagai mitra startegis dalam proyek Abadi tersebut per tanggal 22 Juli 2011. Artinya, itu setelah POD dengan konsep FLNG disetujui oleh pemerintah.

Mantan Direktur Utama LNG Bontang Yoga Suprapto meragukan kajian dari SKK Migas yang menyebut investasi FLNG berkapasitas 7,5 juta ton per tahun, hanya US$ 14,8 miliar. Pengalaman proyek serupa yang dibangun di Australia berkapasitas 3,6 juta ton per tahun saja, sudah menghabiskan US$ 13 miliar. 

 (Baca: Bantah Rizal Ramli soal Blok Masela, SKK Migas: FLNG Lebih Unggul)

Selain itu, dia juga mempertanyakan kajian SKK Migas untuk skema pembangunan kilang di darat yang menghabiskan dana US$ 19,3 miliar. "Dengan pengalaman pembangunan kilang LNG Darat di Arun, Bontang, Tangguh dan Donggi Senoro, maka perkiraan biaya kilang LNG darat kapasitas 7,5 juta ton per tahun hanya sekitar US$ 16 miliar," ujar dia. 

Sementara mantan Direktur Perusahaan Listrik Negara (PLN) Ali Herman Ibrahim mendukung skema darat, demi pertumbuhan industri dalam negeri. Menurut dia ke depannya, kebutuhan gas dalam negeri sangat besar apalagi dengan adanya proyek pembangkit 35 gigawatt (GW). Persentase pembangkit gas dalam proyek listrik ini mencapai 13 GW, dengan kebutuhan gasnya mencapai sekitar 2.600 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). (Baca: Gas dari Blok Masela Diprioritaskan untuk Dalam Negeri)

Halaman:
Reporter: Arnold Sirait