Dampak Larangan Mudik terhadap Melambatnya Perputaran Uang di Daerah

ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/wsj.
Sejumlah calon penumpang di Terminal Bekasi, Jawa Barat, Jumat (10/4/2020). Kementerian Perhubungan mematangkan Peraturan Menteri untuk pengendalian mudik lebaran 2020 di tengah penyebaran COVID-19 .
Penulis: Pingit Aria
21/4/2020, 16.09 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang masyarakat untuk mudik pada Lebaran tahun ini. Keputusan tersebut diambil untuk mencegah penyebaran virus corona Covid-19, terutama dari Jabodetabek ke daerah lain di Indonesia.

"Pada rapat hari ini, saya ingin menyampaikan juga mudik semuanya akan kami larang," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas melalui video conference dari Istana Merdeka, Selasa (21/4).

Larangan tersebut, menurut Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, akan berlaku efektif pada 24 April 2020. Sedangkan penegakan sanksinya akan mulai dilakukan mulai 7 Mei 2020.

Larangan mudik itu sejalan dengan kebijakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang telah memperpanjang periode status darurat bencana virus corona hingga 29 Mei 2020, atau melebihi hari raya Idul Fitri yang jatuh pada 24 Mei 2020.

Dari tahun ke tahun, mudik identik dengan perjalanan pulang kampung yang dilakukan oleh mereka yang merantau di perkotaan. Masyarakat yang mendapat kehidupan lebih layak di kota ini kemudian akan membelanjakan sebagian penghasilannya dengan sanak saudara di kampung halaman.

(Baca: Larangan Mudik untuk Wilayah Jabodetabek, PSBB dan Zona Merah)

Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan, total uang yang dibelanjakan oleh pemudik dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) pada 2019 mencapai Rp 10,3 triliun.

Jawa Tengah adalah daerah yang paling banyak menerima aliran uang tersebut, yakni sebesar Rp 3,8 triliun atau 37% dari total belanja. Selain itu, sebanyak Rp 2,05 triliun (19,09%) mengalir ke Jawa Barat dan Rp 1,3 triliun (12,62%) mengalir ke Jawa Timur. Sementara sisanya mengalir ke berbagai daerah lain. 

Sedangkan menurut perhitungan Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau Kadin, mudik tahun 2019 mengalirkan uang sebesar Rp 9,7 triliun ke berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, sebagian Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Lalu, bagaimana dampak larangan mudik terhadap perputaran uang selama masa libur Lebaran di daerah?

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan, larangan mudik akan menurunkan konsumsi rumah tangga. “Biasanya saat lebaran, aktivitas konsumsi itu bertambah di daerah karena ada perpindahan peredaran uang dari kota besar ke daerah," kata Yusuf, Rabu (21/4).

Selain itu, larangan mudik lebaran juga akan menurunkan pendapatan sektor wisata di daerah. Meski, industri pariwisata telah lesu sejak adanya pembatasan sosial berskala besar di berbagai daerah dan seruan agar masyarakat beraktivitas di rumah saja. "Ini juga berarti pendapatan asli daerah akan berkurang," ujarnya.

(Baca: Jokowi Resmi Larang Masyarakat Mudik Lebaran Tahun Ini)

Hal senada diungkapkan oleh peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara. Ia memperkirakan aliran uang ke daerah tahun ini akan menurun drastis seiring dengan berkurangnya jumlah pemudik. “Belum ada estimasi pastinya, tapi reduksi 30% dari tahun lalu sangat mungkin terjadi,” kata Bhima, dikutip Kontan.

Potensi penurunan jumlah pemudik tercermin dalam survei Katadata Insight Center (KIC). Dalam survei itu, dari 2.437 responden pengguna internet yang tersebar di 34 provinsi, 63% mengaku tidak akan mudik pada perayaan Idul Fitri tahun ini.

Para responden memilih tidak mudik tersebut memiliki alasan yang beragam. Alasan terbanyak adalah mengikuti anjuran pemerintah, yang diamini oleh 54,6% responden. Selain itu, 30,2% responden takut membawa virus ke kampung halamannya; 14,91% responden tidak memiliki keluarga atau sodara, dan 10,4% responden takut tertular virus corona.

Diperburuk Penundaan THR

Menurut INDEF, rendahnya dorongan masyarakat untuk mudik bukan hanya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Alasan lainnya, daya beli masyarakat juga tertekan akibat penundaan atau potongan Tunjangan Hari Raya (THR), mengingat pandemi Covid-19 telah menurunkan peforma banyak perusahaan.

“Beberapa perusahaan dalam kondisi cashflow yang terimbas corona, dikhawatirkan mengurangi jatah THR,” kata Bhima.

(Baca: Survei KIC: Pemudik Akan Didominasi Kaum Muda Berpendapatan Rendah)

Dari kalangan pengusaha, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) telah menyuarakan rencana untuk menunda pembayaran THR. Ketua Umum Badan Pengurus Pusat HIPMI Mardani Maming menyatakan, beberapa perusahaan akan menunda pembayaran THR setidaknya sampai kondisi perusahaan kembali stabil.

Mardani berharap Pemerintah memberikan kelonggaran soal THR. Sebab, kebijakan itu juga diambil untuk menghindari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). “Intinya dikembalikan lagi kepada pengusaha dan pegawai masing-masing untuk mencari jalan tengah,” katanya pada Rabu (8/4) lalu.

Selain swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS) eselon tiga ke atas juga tidak akan mendapat THR. Kebijakan ini juga mencakup para Menteri, Presiden, hingga Anggota DPR.

Ini dikarenakan, pandemi Covid-19 telah memicu pelemahan di sejumlah sektor ekonomi, sehingga berefek pada berkurangnya penerimaan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan penerimaan negara tahun ini hanya mencapai Rp 1.760,9 triliun, atau 78,9% dari target Rp 2.233,2 triliun.

Selain itu, negara juga menghadapi defisit anggaran hingga 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), lantaran pemerintah menambah alokasi belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020. Sebagian besar belanja diarahkan untuk sektor kesehatan, dalam rangka menghadapi pandemi virus corona.

Sebagai informasi, tahun lalu Pemerintah menggelontorkan Rp40 triliun untuk pemberian THR dan gaji ke-13 bagi PNS. Angka tersebut meningkat 11,7% dari tahun 2018 yang mencapai Rp35,8 triliun.

Halaman:
Reporter: Antara