Pemerintah Didesak Mengusut Tuntas Dugaan Perbudakan ABK Indonesia

MBC News
Ilustrasi, siaran MBC News mengenai pembuangan jenazah ABK asal Indonesia. Pemerintah didesak untuk melakukan investigasi terkait dugaan perbudakan ABK asal Indonesia di kapal Tiongkok.
11/5/2020, 12.07 WIB

Pemerintah didesak segara lakukan investigasi terhadap dugaan perbudakan, yang dialami oleh anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal penangkan Ikan Tiongkok.

Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care Nur Harsono mengatakan, pemerintah harus melakukan investigasi terutama soal proses penyalurana tenaga kerja. Sebab, ada indikasi praktik penyaluran tenaga kerja tidak sesuai standar organisasi perburuhan internasional atau International Labour Organization (ILO).

"Pemerintah harus menelusuri proses pemberangkatan yang dilakukan oleh penyalur atau perusahaan, karena dari kesaksian para ABK perusahaan penyalur tidak transparan," kata Harsono, kepada Katadata.co.id, Senin (11/5).

Para ABK yang disalurkan bekerja mengaku, perusahaan penyalur tidak transparan mengenai situasi kerja, dan jam kerja yang bakal dihadapi. Kemudian, para ABK tersebut tidak dibekali informasi yang memadai soal jaminan kesehatan.

Kondisi kerja yang dialami para ABK pun dipandang melanggar aturan ILO, mulai dari jam kerja yang terlampau panjang, dan kecilnya upah yang diterima. Kemudian, konsumsi tidak layak, yang membuat kesehatan para ABK terganggu, bahkan jatuh sakit.

Kondisi semakin diperparah dengan kejadian pembuangan jenazah tiga ABK asal Indonesia di laut. Padahal saat ini kapal hendak berlabuh di Korea Selatan, yang seharusnya bisa dimanfaatkan kapten kapal untuk berkoordinasi dengan perwakilan Indonesia, untuk melakukan prosesi pemakaman yang layak.

(Baca: Kemenlu akan Panggil Dubes Tiongkok Terkait Perbudakan ABK Indonesia)

Selain itu, pemerintah juga harus menginvestigasi penyebab meninggalnya tiga ABK secara medis, bukan hanya berdasarkan pengakuan kapten kapal. Pasalnya, jika mendengar kesaksian, besar kemungkinan penyebab meninggalnya tiga ABK tersebut karena kondisi kerja yang tidak manusiawi.

Sebelumnya, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menyesalkan sikap lamban dan minimalisnya Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) merespons peristiwa tersebut.

Ia menilai akibat sikap Kemenlu, masyarakat baru mengetahui peristiwa pembuangan jenazah dan eksploitasi ABK asal Indonesia pekan kedua bulan Mei 2020. Padahal, peristiwa tersebut terjadi pada Desember 2019 dan Maret 2020.

"Tidak hanya minimalis, Kemenlu juga tidak responsif mengurusi aspek administratif bagi para ABK yang meninggal itu. Akibat kelambanan dan sikap minimalis itu, para almarhum dan keluarganya tidak mendapatkan perlakuan yang layak," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya Minggu (10/5).

Berdasarkan keterangan dari kolega para korban, informasi tentang peristiwa kematian dan pembuangan jenazah di kapal ikan Long Xing 629 sudah masuk dan diterima Kemenlu sejak Desember 2019.  Bahkan menurut Bambang, kolega almarhun sudah mendatangi Kemenlu.

Selain melaporkan identitas para ABK yang meninggal, mereka juga meminta Kemenlu mendesak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Seoul mengeluarkan surat keterangan kematian, untuk keperluan asuransi tiga almarhum.

(Baca: Ketua MPR: Pemerintah Lamban Respons Perbudakan ABK di Kapal Tiongkok)

Reporter: Tri Kurnia Yunianto