Tim Advokasi Temukan 9 Kejanggalan di Sidang Penyiraman Novel Baswedan
Tim Advokasi Novel Baswedan menemukan 9 kejanggalan dalam proses persidangan kasus penyerangan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. Sidang telah digelar sebanyak empat kali di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Pekan lalu, Novel Baswedan hadir memenuhi agenda pemeriksaan saksi. "Proses persidangan itu dinilai masih jauh dari harapan dalam menggali fakta sebenarnya (materiil) dalam kasus ini," kata Tim Advokasi Novel Basweda, Kunia Ramadhana dalam keterangan resmi, Senin (11/5).
Tim Advokasi yang sejak awal turut memantau jalannya persidangan menemukan berbagai kejanggalan.
(Baca: Tim Advokasi Minta Polisi Bongkar Dalang Penyerangan Novel Baswedan)
Pertama, dakwaan jaksa skenario menutup pengungkapan aktor intelektual dan hukum ringan pelaku.
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menunjukkan bahwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan hanya dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan biasa, dan tidak berkaitan dengan kerja maupun teror sistematis pelemahan KPK yang selama ini terus diterima para penyidik lembaga anti-rasuah.
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum sangat bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri untuk kasus Novel Baswedan yang menemukan bahwa motif penyiraman air keras terhadap Novel terkait kasus yang ditangani.
Dalam dakwaan JPU juga tidak terdapat fakta atau informasi siapa pelaku yang menyuruh melakukan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. "Patut diduga Jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan," katanya.
Hal ini bertentangan dengan temuan dari Komnas HAM dan Tim Pencari Fakta bentukan Polri yang menyebutkan bahwa ada aktor intektual dibalik kasus penyerangan.
Kedua, JPU dinilai tak merepresentasikan negara yang mewakili kepentingan korban, melainkan tampak membela kepentingan para terdakwa.
Temuan ini menurutnya, sudah pernah disampaikan saat agenda persidangan memasuki pembacaan surat dakwaan. Dalam berkas tersebut Jaksa hanya mendakwa dua penyiram wajah Novel dengan pasal penganiyaan biasa.
(Baca: Politisi PDIP Desak Kejaksaan Usut Kasus Lama Novel Baswedan )
Padahal, perbuatan pelaku sudah jelas dianggap dapat mengancam nyawa korban. Selain itu, dalam dakwaan disebutkan bahwa air yang digunakan untuk menyiram wajah Novel berasal dari aki.
Pernyataan ini dinilai sesat. Sebab sebelummnya sudah diketahui dengan jelas bahwa cairan tersebut adalah air keras yang telah menyebabkan Novel Baswedan kehilangan penglihatan.
Dalam persidangan, jaksa juga terlihat tidak memiliki arah yang jelas. Pasalnya, meski telah disebut saksi korban nama dan informasi penting mengenai kemungkinan keterlibatan aktor lain, jaksa tidak menggali lebih lanjut.
Ketiga, Majelis hakim terlihat pasif dan tidak objektif mencari kebenaran materiil.
Hakim tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh, khususnya fakta-fakta sebelum penyerangan terjadi untuk membuktikan bahwa serangan dilakukan secara sistematis, terorganisir, tidak hanya melibatkan pelaku pada saat penyerangan terjadi.
Hal ini dibuktikan dalam persidangan pemeriksaan Novel, hakim cenderung terbatas menggali fakta dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kejadian 11 April oleh pelaku penyerangan, dampak penyerangan. Hal ini tidak diikuti dengan menggali informasi lebih jauh terkait informasi saksi yang telah disebutkan terkait nama dan peristiwa yang berkaitan dengan penyerangan.
Jika demikian cara kerja hakim diperkirakan akan menutup peluang untuk membongkar kejahatan sistematis ini. Hakim semestinya dapat menggali keterangan saksi atau alat bukti lain agar bisa mencari kebenaran materiil serta mampu membongkar pelaku lapangan penyerang dan juga aktor intelektualnya.
Keempat, para terdakwa pelaku kejahatan anggota Polri aktif didampingi kuasa hukum Polri.
(Baca: Refleksi 2019 ICW: Agenda Jokowi Berantas Korupsi Hanya Demi Investasi)
Seperti diketahui, kedua terdakwa pelaku penyiraman merupakan anggota polisi aktif mendapatkan pembelaan hukum yang mana keseluruhannya berasal dari institusi Polri.
Oleh karena itu, dia menilai kejahatan yang disangkakan kepada dua orang terdakwa itu merupakan telah mencoreng dengan Institusi kepolisian dan tentu bertentangan dengan tugas dan kewajiban Polisi dalam UU Kepolisian.
Sehingga, ketika para terdakwa justru di bela oleh institusi Polri, proses pendampingan itu pun harus dipertanyakan. "Atas dasar apa insitusi Polri mendampingi pelaku tersebut? Pembelaan oleh Institusi Kepolisianakan menghambat proses hukum untuk membongkar kasus yang diduga melibatkan anggota serta petinggi kepolisian ini" ujar Kurnia.
Hal ini juga dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan yang nyata yang akan menutup peluang membongkar kasus ini dan menangkap otak pelaku kejahatan.
Kelima, tim kuasa hukum menduga ada manipulasi barang bukti di persidangan. Narasi ini muncul pasca agenda sidang pemeriksaan saksi korban beberapa waktu lalu. Mulai dari cctv yang dianggap penting namun dihiraukan oleh penyidik sampai pada dugaan intimidasi terhadap saksi-saksi penting.
Tak hanya itu, sidik jari pun tidak mampu diindentifikasi kepolisian pada gelas dan botol yang dijadikan alat untuk melakukan penyiraman terhadap Novel. Selain itu, dalam persidangan 30 April 2020 yang lalu ditemukan keanehan dalam barang bukti baju muslim yang dikenakan Novel Baswedan pada saat kejadian.
Baju yang pada saat kejadian utuh, dalam persidangan ditunjukkan hakim dalam kondisi terpotong sebagian dibagian depan. Diduga bagian yang hilang terdapat bekas dampak air keras.
Keenam, Jaksa mengaburkan fakta air keras yang digunakan untuk penyiraman.
Meski dampak penyerangan air keras telah nyata mengakibatkan Novel Baswedan kehilangan penglihatan. Jaksa justru mengarahkan dakwaan bahwa air yang mengakibatkan kebutaan Novel Baswedan bukan Air keras.
Bahkan dalam persidangan Penasehat hukum terdakwa sempat menanyakan terkait benar atau tidak kebutaan yang dialami oleh Novel baswedan
Ketujuh, Kasus Kriminalisasi Novel kembali diangkat untuk mengaburkan fokus pengungkapan kasus penyerangan Novel Baswedan dan KPK .
Selama proses peradilan berjalan terdapat pergerakan yang diinstruksikan oknum tertentu untuk kembali memojokkan Novel dalam kasus pencurian sarang burung wallet di Bengkulu. Padahal, sudah berulang kali ditegaskan berdasarkan temuan Ombudsman tahun 2015 bahwa terdapat rekayasa dan manipulasi pada tudingan tersebut.
Kedelapan, dihilangkannya alat bukti saksi dalam berkas persidangan.
Ini baru diketahui dari JPU bahwa terdapat saksi kunci penyerangan Novel Baswedan yang telah memberikan keterangan kepada Kepolisian, Komnas HAM, TGPF bentukan Polri, berkas BAPnya diduga dihilangkan dan tidak diikutkan dalam berkas Pemeriksaan Persidangan oleh Jaksa.
Selain itu, saksi-saksi penting dan relevan dari pihak korban yang tidak dihadirkan JPU. "Hal ini merupakan temuan dugaan pelanggaran serius, bentuk upaya sistematis untuk menghentikan upaya membongkar kasus penyerangan novel baswedan," kata dia.
Sehingga, sangat merugikan proses persidangan yang seharusnya dapat mendengar keterangan saksi yang dapat memberikan keterangan petunjuk untuk mengungkap kebenaran kasus ini.
Kesembilan, dalam pemeriksaan saksi korban di pengadilan 30 April 2020, ruang pengadilan di penuhi oleh Aparat Kepolisian dan orang-orang yang nampak dikoordinasikan untuk menguasai ruang persidangan.
Bangku pengunjung yang mestinya dapat digunakan secara bergantian oleh seluruh pengunjung, ‘dikuasai’ oleh orang-orang yang tertentu sehingga publik maupun kuasa hukum dan media yang meliput tidak dapat menggunakan fasilitas bangku pengunjung untuk memantau proses persidangan.
Desakan Pengawasan Kasus
Berdasarkan kejanggalan tersebut, Tim Advokasi Novel Baswedan mendesak agar Badan Pengawas Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial bersikap tegas serta memantau secara langsung proses persidangan yang telah mengarah kepada peradilan sesat.
Pihak tersebut diharapkan dapat memastikan proses peradilan dalam persidangan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan berjalan imparsial jujur dan adil sehingga pelaku penyerangan dapat diungkap secara terang dan tidak berhenti di aktor penyerang.
Komisi kejaksaan diminta ikut turun mengawasi kinerja tim jaksa penuntut umum dalam persidangan penyiraman terhadap Novel Baswedan yang diduga tidak profesional dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.
Tim advokasi juga meminta Ombudsman Republik Indonesia untuk mengawasi jalannya proses persidangan yang merupakan bentuk pelayanan publik yang mestinya berjalan imparsial jujur dan adil serta menyampaikan rekomendasi terkait temuannya untuk mendukung pengungkapan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan dan teror pelemahan KPK.
Selanjutnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diminta menyampaikan pendapat berkenaan dengna hasil penyelidikannya terkait Kasus Penyerangan Novel Baswedan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 89 ayat (3) UU HAM untuk mendukung pengungkapan kasus secara lebih terang.
(Baca: Di Depan Ketua KPK, Kapolri Idham Azis Janji Tuntaskan Kasus Novel)
Selain itu, Kepala Kepolisian RI (Kapolri) juga diminta segera menjelaskan ke publik dasar pendampingan hukum terhadap dua orang terdakwa penyiraman terhadap Novel Baswedan dan segera menarik para pembela untuk menghindari konflik kepentingan.
Terakhir, tim mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menolak impunitas dengan mengawal pengungkapan kasus Novel Baswedan, sehingga seluruh aktor pelaku penyerangan baik aktor lapangan maupun aktor intelektual terungkap dijerat hukum.