Presiden Jokowi menaikkan tarif BPJS Kesehatan melaui Perpres Nomor 64 tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan di tengah pandemi virus corona. Kenaikan berlaku bagi peserta mandiri kelas I dan kelas II mulai 1 Juli 2020. Peraturan ini sekaligus menggugurkan kebijakan sebelumnya yang dikeluarkan pada 2019.
Rincian kenaikan iuran diatur dalam Pasal 34. Iuran peserta mandiri kelas II dan kelas III ditetapkan masing-masing sebesar Rp 100 ribu dan Rp 150 ribu. Sementara untuk Januari-Maret tahun ini, iuran tetap sama dengan Perpres Nomor 75 tahun 2019 sebesar Rp 160 ribu untuk kelas I dan Rp 110 ribu untuk kelas II. Sedangkan pembayaran April-Juni peserta hanya perlu membayar Rp 80 ribu untuk kelas I dan Rp 51 ribu untuk kelas II.
Daftar iuran lengkapnya bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:
(Baca: Iuran Naik, BPJS Kesehatan Berpotensi Tak Defisit Tahun Ini)
Terkait iuran yang telah dibayar peserta mandiri melebihi ketentuan di bulan Januari hingga Juni, BPJS Kesejatan akan memperhitungkan kelebihan dengan pembayaran bulan berikutnya.
Dalam Perpres disebutkan kenaikan tak berlaku bagi penerima pensiun, veteran dan perintis kemerdekaan, termasuk janda, duda, atau anak yatim dan/atau piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan.
Namun kebijakan ini menuai polemik dari pelbagai elemen masyarakat. Mereka menilai kebijakan ini dikeluarkan di saat yang tak tepat. Karena, saat ini masyarakat sedang berada dalam keadaan sulit akibat pandemi corona dan justru membutuhkan bantuan, bukan kenaikan iuran. Berikut adalah elemen masyarakat yang menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan:
Komunitas Pasien Cuci Darah
Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang menjadi penggugat Perpres sebelumya di Mahkamah Agung (MA) menilai pemerintah telah sengaja melawan keputusan hukum.
“KPCDI melihat hal itu sebagai bentuk pemerintah mengakali keputusan MA,” kata Sekjen KPCDI Petrus Hariyanto dalam keterangan tertulis, Rabu (13/5).
Mahkamah Agung resmi membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Ini seiring dikabulkannya peninjauan kembali (judicial review) untuk membatalkan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019.
Melalui Perpres tersebut, pemerintah semula berkeinginan menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri pada seluruh kelas layanan. Iuran peserta kelas III dinaikkan dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu, kelas II dari Rp 55 ribu menjadi Rp 110 ribu, dan kelas I dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu.
KPCDI pun berencana untuk menggugat kembali perpres terbaru yang dikeluarkan Jokowi ke MA. Mereka tengah berdiskusi dengan tim pengacara dan menyusun materi yang akan diujikan.
(Baca: Iuran BPJS Naik, DPR: Pemerintah Tak Peka Terhadap Kondisi Rakyat)
Partai Politik
Penolakan selanjutnya muncul dari partai politik. Partai Keadilan Sejahteran (PKS) meminta pemerintah mencabut Perpres terbaru karena tidak peka dengan situasi masyarakat. Hal ini disampaikan oleh politikus PKS yang juga menjadi Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Ansory Siregar.
“Pemerintah benar-benar tidak punya empati ke masyarakat,” kata Ansory melalui keterangan pers, Rabu (13/5).
Pandangan sama juga disampaikan Wasekjen Partai Demokrat Irwan. Menurutnya, “pemerintah menjadikan rakyat ambyar dengan kebijakan ini.” Sementara pengurus teras PAN Saleh Partaonan Daulay menilaikeputusan ini meunjukkan pemerintah mengkhianati keinginan masyarakat.
“Padahal warga masyarakat banyak yang berharap agar putusan MA dilaksanakan dan iuran tidak jadi dinaikkan,” kata Saleh, Rabu (13/5).
Kritik juga datang dari partai pendukung Jokowi di Pilpres 2019, yakni PKB. Ketua DPP PKB Nihayatul Wafiroh menyatakan kecewa dengan kebijakan pemerintah. Menurutnya pemerintah telah mempermainkan masyarakat karena kebijakan berubah-ubah.
“Ini rakyat seperti diombang-ambingkan dan tidak ada kepastian. Peraturan harusnya memberi kepastian,” kata Nihayatul, Kamis (14/5).
(Baca: Faisal Basri Usul Iuran BPJS Diambil dari Dana Kementerian Pertahanan)
Ekonom
Tak ketinggalan ekonom Faisal Basri mengkritisi kebijakan ini. Ia menilai anggaran untuk BPJS Kesehatan bisa diambil pemerintah dengan memangkas belanja kementerian secara maksimal, khususnya Kementerian Pertahanan. Dengan begitu pemerintah tak perlu menaikkan iuran.
Faisal menerangkan, saat ini pemangkasan belanja sejumlah kementerian masih minim. Kementerian Pertahanan misalnya, hanya dipangkas Rp 8,73 triliun atau 6,65% dari total anggaran Rp 131,1 triliun sehingga menjadi Rp 122,4 triliun. Padahal anggaran pertahanan saat ini belum terlalu penting. Sebab melawan corona tak bisa memakai bedil.
Anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pun menurut Faisal belum terlalu dipangkas. Penurunan anggaran hanya sebesar 20,4%. Padahal sewaktu krisis 1998 proyek-proyek besar dipangkas anggarannya.
Begitu juga Kementerian Agama yang anggarannya hanya turun 4% dari Rp 65,1 triliun menjadi Rp 62,4 triliun. “Memangnya virus covid-19 dapat selesai dengan dakwah?” kata Faisal dalam webinar Iluni UI, Rabu (13/5).
(Baca: Airlangga Sebut Nasib BPJS Kesehatan di Balik Kenaikan Iuran)
Dalih Pemerintah
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, alasan pemerintah menaikkan iuran adalah untuk menyelamatkan keberlangsungan BPJS Kesehatan di tengah pandemi corona. Lagi pula, iuran untuk peserta kelas I dan II bukan termasuk yang disubsidi pemerintah, tapi ditujukan untuk menjaga keuangan BPJS Kesehatan.
“Ada iuran yang disubsidi pemerintah, nah ini yang tetap diberikan subsidi,” kata Airlangga, Rabu (13/5).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris meyatakan saat ini lembaga yang dipimpinnya memiliki utang klaim sebesar Rp 4,4 triliun ke rumah sakit dan telah jatuh tempo.
“Per hari ini memang utang jatuh tempo ke rumah sakit hanya setengah bulan pembayaran yaitu Rp 4,4 triliun," kata Fachmi dalam konferensi video, Kamis (14/5).
Secara rinci, outstanding klaim hingga saat ini sebesar Rp 6,21 triliun. Ini merupakan klaim yang masih dalam proses verifikasi. Sementara, utang yang belum jatuh tempo Rp 1,03 triliun. Secara keseluruhan, utang BPJS Kesehatan yang telah dibayarkan kepada fasilitas kesehatan sejak 2018 mencapai Rp 192,53 triliun.
Dengan demikian, Fachmi merasa adanya Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 akan mengembalikan nilai-nilai fundamental Jaminan Kesehatan Nasional yang hakikatnya merupakan program gotong-royong. "Perlahan-lahan kita bisa lunasi dari gagal bayar yang cukup besar di 2019. Jadi cashflow rumah sakit bisa lebih baik," ujarnya.