SKK Migas Minta Pertamina Laporkan Rencana IPO Subholding Hulu

Donang Wahyu|KATADATA
Ilustrasi, kantor pusat Pertamina, Jakarta. Pertamina mendorong subholding hulu melantai di bursa saham. Meski begitu, rencana tersebut belum dibahas dengan SKK Migas.
20/6/2020, 10.10 WIB

Pertamina telah melaksanakan restrukturisasi anak usaha menjadi subholding. Selanjutnya, perusahaan pelat merah itu berencana mendorong subholding hulu melantai di bursa saham.

Meski begitu, rencana subholding hulu Pertamina melaksanakan initial public offering (IPO) belum diketahui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas. Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman mengatakan pihaknya tak bisa banyak komentar dengan rencana Pertamina.

"Kami belum bisa jawab sebelum Pertamina melaporkan ke SKK Migas secara resmi," kata Fatar ke Katadata.co.id pada Jumat (19/6).

Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan rencana IPO subholding hulu mempertimbangkan kebutuhan pendanaan dalam mengembangkan blok migas. Apalagi Pertamina sebenarnya membutuhkan mitra dalam mengelola Blok Rokan setelah alih kelola dengan Chevron pada 2021.

"Pertamina harus bermitra, harus melepas sebagian PI (participating interest), jadi kami akan lakukan itu," ujar Nikce dalam diksusi daring, Senin (15/6).

Di samping itu, menurut Nicke, IPO memberi kesempatan bagi perusahaan untuk mengembangkan aset hulu migas. Apalagi kegiatan tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

"Sebesar 60% investasi di Pertamina untuk hulu, karena tren migas cenderung menurun, kami akan akuisisi hulu," ujar dia.

(Baca: Serikat Pekerja Tolak Subholding Migas, Pertamina Ajak Diskusi)

(Baca: Setoran Dividen Pertamina ke Pemerintah Tahun Ini Naik Jadi Rp 8,5 T)


Pro Kontra Rencana IPO Subholding Hulu Pertamina

Rencana subholding Pertamina melantai di bursa saham menuai pro dan kontra. Salah satunya dari praktisi migas sekaligus mantan Bos Pertamina Ari Soemarno yang memproyeksi nilai IPO subholding hulu bakal rendah.

Pasalnya, Pertamina hanya menjadi kontraktor dari cadangan migas milik pemerintah. Namun, jumlah cadangan migas tetap milik negara dan tidak bisa dinilai atau diklaim sebagai milik badan usaha.

"Kontraktor hanya punya hak atas sebagian dari hasil produksi atau revenue penjualan migas," kata Ari kepada Katadata.co.id pada pekan ini.

Dengan begitu, Ari menyebut, investor hanya menilai potensi pendapatan subholding hulu hingga masa kontrak habis. Apalagi, lapangan migas yang dikelola Pertamina merupakan lapangan tua yang produksinya terus turun.

Untuk bisa mempertahankan produksi lapangan tua, Pertamina harus menggunakan teknik enhanced oil recovery atau EOR yang berbiaya tinggi. "Ditambah lagi kondisi lingkungan usaha migas dunia dalam kondisi oversupply yang besar untuk jangka waktu lama. Hal itu berakibat pada harga komoditas yang rendah. Kalau mau IPO, bisa dapat nilai berapa? Pasti rendah," ujar Ari.

Lebih lanjut, Ari mengatakan, aset Pertamina di luar negeri tidak bernilai tinggi. Dia menyebut aset Pertamina di Aljazair dan Malaysia hanya 40% dari harga akuisisi.

Selain itu, Pertamina tidak seperti Petronas, Petrobras, atau Aramco yang diberikan kuasa untuk mengelola seluruh cadangan migas di negaranya. Sehingga nilai IPO perusahaan tersebut cukup tinggi.

Pertamina juga memiliki liabilitas lebih dari US$ 10 miliar dari hasil global bonds di masa lalu. Hal itu membuat perusahaan harus mengagunkan seluruh pendapat perusahaan.

"Apa bisa IPO tanpa consent mereka? Tidak bisa, mereka justru akan setuju kalau proceed-nya buat beli balik bonds Pertamina itu. Akhirnya kita tidak dapat apa apa. Lebih baik Pertamina mencari strategic partner untuk masing-masing lapangan migas," kata dia.

(Baca: Bos Pertamina akan Prioritaskan Subholding Hulu IPO Lebih Dulu)

Sebelumnya, Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai langkah subholding Pertamina melantai di bursa saham sudah tepat. Pasalnya, IPO membantu perusahaan mendapatkan pendanaan.

Tambahan modal itu bisa digunakan untuk mengembangkan potensi bisnis di sektor hulu. Lagi pula, IPO dalam dunia usaha merupakan hal lumrah.

"Sepanjang saham mayoritas masih di negara, lebih banyak positifnya," kata Pri Agung kepada Katadata.co.id, Selasa (16/6).

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya seperti PT Telkom, PT Antam, PTBA, dan PT Perusahaan Negara (PGN) juga sudah IPO. "Banyak kok BUMN migas luar negeri yang melantai di bursa saham, seperti Petrobras, Petronas, YPF SA, Statoil, dan Saudi Aramco," kata dia.

IPO subholding hulu Pertamina dinilai bisa berdampak positif dalam meningkatkan tata kelola perusahaan karena menjadi perusahaan terbuka. Di satu sisi, menurutnya, sektor hulu Pertamina memang membutuhkan fondasi yang kuat untuk investasi.

Langkah itu pun dinilai sejalan dengan visi Pertamina untuk menjadi pemain kelas internasional. Namun, langkah tersebut harus dijalankan dengan tata kelola perusahaan yang baik.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai IPO merupakan strategi perusahaan untuk ekspansi. Langkah itu mengindikasikan perusahaan sedang berkembang dan memerlukan dukungan anggaran yang cukup besar.

"Namun, saya paham ini tidak mudah bagi internal Pertamina yang selama ini relatif nyaman dengan 100% dimiliki pemerintah," kata dia.

(Baca: Pertamina: Restrukturisasi Sektor Hulu Tak Ganggu Operasi Blok Migas)

Reporter: Febrina Ratna Iskana, Muchamad Nafi