Refly Harun Sebut Putusan MA Soal Sengketa Pilpres Cuma Buat Gaduh

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2019-2024 Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Ekarina
10/7/2020, 05.30 WIB

Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 44 P/HUM/2019 yang diajukan Rachmawati Soekarnoputri terhadap Peraturan KPU(PKPU) tak berimplikasi apapun terhadap kedudukan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Putusan MA tersebut justru dinilai hanya menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

“Saya mengatakan putusan MA ini enggak bermanfaat sama sekali,” kata Refly dalam diskusi virtual, Kamis (9/7).

Menurutnya, putusan MA tersebut tak akan bisa mengubah hasil Pilpres 2019 yang memenangkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024. Bahkan, jika MA langsung mengumumkan putusan tersebut pada 28 Oktober 2019.

(Baca: Lapor Hasil Pemilu 2019 ke Jokowi, KPU: Keterwakilan Perempuan Naik)

Sebab, Jokowi-Ma’ruf sudah terlebih dulu dilantik pada 20 Oktober 2019 lalu. “Itu pun tidak punya manfaat karena proses berpemilu sudah selesai,” kata Refly.

Kalaupun dianggap berlaku surut, Refly tetap menilai putusan MA tersebut tetap tak bisa menganulir penetapan Jokowi-Ma’ruf sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Alasannya, Jokowi-Ma’ruf telah memenangkan Pilpres 2019 dengan perolehan suara lebih dari 50%.

Kemudian, Jokowi-Ma’ruf juga menang di 21 provinsi. “Artinya lebih dari 50% (dari total provinsi Indonesia). Padahal persyaratan minimalisnya adalah 18 provinsi saja dan cukup 20% (suara di tiap provinsi), asalkan lebih dari 50%+1 jumlah suaranya,” kata Refly.

Lebih lanjut, dia juga menilai putusan MA tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50 Tahun 2014. Putusan MA menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.

Pasal 3 ayat (7) PKPU tersebut menyatakan apabila hanya terdapat dua pasangan capres dan cawapres, maka syarat keterpilihannya hanyalah berdasarkan jumlah suara terbanyak. Artinya, KPU tak mensyarakatkan tambahan perolehan suara minimum 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

(Baca: Hasil Survei PPI: 61,4% Responden Puas Kerja Jokowi, 33% Tidak Puas)

Sementara, putusan MK menyatakan bahwa jika hanya terdapat dua pasangan capres dan cawapres, maka syarat keterpilihannya adalah memperoleh suara lebih dari 50%. Hal tersebut sebagai penafsiran MK terhadap Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.

“Jadi terlepas siapa yang benar dan yang salah, ada ketidakpastian hukum terhadap tafsir Pasal 6A ayat (3) UUD 1945,” kata Refly.

Menurutnya, putusan MA tersebut baru akan bermanfaat jika ke depannya hanya ada dua pasangan capres dan cawapres dalam Pilpres selanjutnya. Refly pun menilai perlu ada kajian lebih lanjut apakah Pilpres akan mengacu pada putusan MA atau MK.

Reporter: Dimas Jarot Bayu