Mengurai Permasalahan Penanganan Covid-19 di Papua

ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wsj.
Ilustrasi. Papua menjadi salah satu dari delapan provinsi yang mengalami lonjakan jumlah kasus positif Covid-19.
Penulis: Sorta Tobing
14/7/2020, 13.08 WIB

Presiden Joko Widodo menyoroti lonjakan tajam kasus positif Covid-19 di delapan provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Papua. "Saya minta ini diberikan prioritas khusus untuk yang testing, tracing, dan treatment ini di delapan provinsi," katanya saat membuka rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/7).

Target pemeriksaan sebesar 30 ribu spesimen, menurut dia, harus bisa dicapai. Untuk itu, ia memerintahkan segera dilakukan penambahan laboratorium di sejumlah daerah yang juga diikuti dengan penambahan mobile lab BSL-2 untuk tes PCR. "Kami harapkan nantinya target sesuai yang saya sampaikan bisa tercapai," ujar Jokowi.

Saat ini hanya ibu kota saja yang telah memenuhi kapasitas tes minimum sesuai dengan imbauan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Jakarta telah mampu memenuhi rasio tes usap (swab) reaksi berantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR), yaitu satu per seribu orang.

(Baca: Kemenkes Ubah Definisi Pasien dan Kematian Akibat Corona di Indonesia)

Rasio jumlah tes virus corona di Jakarta tercatat sebanyak 26.527 tes per satu juta penduduk. Jika dibandingkan dengan provinsi lainnya, Suamtera Barat baru 9.124 tes per satu juta penduduk, Bali 8.870 tes per satu juta penduduk, dan Papua hanya 5.440 tes per satu juta penduduk.

Ahli epidemiologi dari Universitas Cendrawasih, Hasmi, mengatakan fasilitas tes Covid-19 di Papua sebenarnya cukup memadai. Namun, kurangnya tenaga medis masih menjadi kendala, bahkan hingga Papua Barat. “Cuma kita harus hati-hati jangan sampai ada secondwave (gelombang kedua),” katanya kepada BBC.

Per kemarin, jumlah kasus positif di Papua mencapai 2.365 pasien dan jumlah yang meninggal 22 orang. Provinsi ujung timur Indonesia itu baru saja menemukan klaster baru di pasar tradisional Youtefa, Jayapura. Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) menyebut ada 115 orang pedagang terinfeksi Covid-19.

(Baca: Masuk Gelombang II Corona, Kematian Inggris Diramal Tembus 120 Ribu )

Hari pertama sekolah di Jayapura, Papua, di tengah pandemi corona. (ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wsj.)

Minim Tenaga Medis

Pemerintah Provinsi Papua mencatat terjadi kenaikan kasus positif virus corona pada tenaga kesehatan. Dari data Satuan Tugas Pengendalian, Pencegahan, dan Penanganan Virus Corona Provinsi Papua Mei-Juli 2020, sebanyak 222 tenaga kesehatan terkonfirmasi positif. Tingginya kasus tenaga kesehatan yang terpapar membuat Papua menghadapi ancaman outbreak (wabah).

“Tenaga kesehatan di Papua sangat minim. Kami berperan sebagai pertahanan terakhir untuk menghadapi Covid-19. Seharusnya warga melaksanakan protokol kesehatan  dengan disiplin dan jujur menyampaikan kondisi kesehatannya saat dirawat di rumah sakit dan puskesmas,” ujar Ketua Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Papua  Donald Aronggear kepada Kompas.com.

Penyebaran Covid-19 di lingkungan tenaga medis paling besar terjadi di RSUD Jayapura. Menurut Direktur RSUD Jayapura Drg Aloysius Giyai , sebanyak 84 tenaga kesehatan di RSUD Jayapura terpapar Covid-19.

(Baca: Jokowi Perkirakan Puncak Corona pada September, Apa Versi Epidemiolog?)

Pemicu penyebaran Covid-19 di lingkungan tenaga medis adalah  pasien yang tidak jujur soal riwayat perjalanannya. Pemicu lainnya ialah keterbatasan alat pelindung diri (APD) selama melayani pasien Covid-19.

RSUD Jayapura sedang berupaya mendatangkan 120 tenaga kesehatan untuk membantu penanganan Covid-19, terdiri dari 20 orang dokter umum, 55 orang perawat, 20 orang bidan, 20 orang analis, dan 5 orang ahli gizi.

Peliknya penanganan Covid-19 juga dikarenakan kurangnya fasilitas kesehatan. Sejak pertengahan Mei lalu, 16 rumah sakit yang ditunjuk sebagai rujukan pasien Covid-19 kewalahan akibat penambahan kasus positif yang terus terjadi. Selain itu, Papua hanya punya dua ruang isolasi yang memenuhi standar WHO. 

“Ruang isolasi kita di rumah sakit yang memenuhi syarat hanya dua, yang lain tidak memenuhi syarat, tetapi suka tidak suka kita harus merawat pasien corona maupun PDP,” kata Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Papua Silwanus Sumule, dikutip dari situs Pemprov Papua.

(Baca: Jokowi Kaji Sanksi Kerja Sosial Bagi Pelanggar Protokol Kesehatan)

Terhadang Stigma dan Kondisi Geografis

Transmisi penyebaran Covid-19 di Papua telah mencapai 17 kabupaten. Beberapa kabupaten tersebut berada di wilayah pegunungan yang sulit dijangkau. Lima kabupaten di kawasan pegunungan, yakni Lanny Jaya, Tolikara, Memberano Tengah, dan Yalimo, bergantung pada pusat pelayanan kesehatan di Kabupaten Jayawijaya.

Padahal, wilayah tersebut dikelilingi pegunungan yang sulit dijangkau. Wilayah Nduga juga mengalami permasalahan kondisi geografis yang serupa. Sebanyak 11 distrik di Nduga sulit dijangkau karena hanya bisa ditembus via transportasi udara. Hanya ada dua distrik di wilayah itu yang bisa dijangkau via darat. Kesulitan ini berimbas pada membengkaknya biaya penanganan kesehatan di Papua.

Hasmi menyebut, selain sulit dijangkau tenaga medis, masih ada penolakan ketika pasien dinyatakan positif Covid-19. “Petugas [medis] kesulitan karena ketika penduduk akan dikarantina atau dinyatakan sebagai penderita Covid-19, mereka keberatan, dan jika mereka dikarantina akan meminta denda,” ujarnya.

(Baca: Target PCR Belum Tercapai, Gugus Tugas Tetap Bakal Gelar Rapid Test)

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga Innah Giwjangge mengatakan penolakan warga terjadi karena adanya stigma bahwa Covid-19 adalah penyakit kutukan. Sebagian masyarakat Nduga juga merasa kebal terhadap virus Covid-19. Rasa aman palsu ini timbul karena anggapan fisik masyarakat Papua yang kuat dan dipercaya mampu menangkal Covid-19.

Wilayah pegunungan tengah Papua tidak hanya berjuang menekan penyebaran Covid-19 saja. Para  tenaga medis juga berjibaku dengan penanganan penyakit yang banyak diderita masyarakat, seperti tuberculosis (TBC), malaria, dan HIV/AIDS.

Penulis: Muhamad Arfan Septiawan (magang)