Pertamina Produksi D100, Apa Bedanya dengan B100?

Pertamina
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita (kiri) bersama Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati (tengah) dalam peluncuran produk D-100 yang merupakan BBM ramah lingkungan dari 100% pengolahan CPO.
Penulis: Sorta Tobing
16/7/2020, 16.49 WIB

Kilang Dumai milik Pertamina berhasil memproduksi D100 atau green diesel (solar hijau) sebanyak seribu barel per hari. Bahan bakar nabati atau BBN itu merupakan hasil pengolahan refined, bleached, and deodorized palm oil (RBDPO). Produknya 100% berasal dari minyak sawit mentah atau CPO yang diproses hingga hilang getah, impurities (kotoran), dan baunya.

Uji coba pengolahan produksinya dilaksanakan pada 2 sampai 9 Juli lalu. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan pengujian ini menunjukkan kilang dan katalis Pertamina sudah siap memproduksi BBM ramah lingkungan. “Kami perlu memikirkan agar sisi keekonomiannya juga dapat tercapai,” katanya dalam siaran pers, Rabu (15/7).

Hadirnya produk green energy ini menjadi jawaban untuk menyediakan energi ramah lingkungan di Indonesia. Selain itu, kehadiran D100 akan membuat penyerapan produksi minyak kelapa sawit domestik menjadi lebih optimal.

(Baca: Meski Ada Pandemi dan PSBB, Permintaan CPO Domestik Naik 3,6% )

Saat ini produksi minyak kelapa sawit di Indonesia berada di angka 42 juta hingga 46 juta metrik ton per tahun. Serapannya untuk minyak sawit yang diolah memakai metanol atau fatty acid methyl ester (FAME) untuk biodiesel sekitar 11,5%. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan produksi sawit (minyak dan inti sawit) di Indonesia sejak 1980.

Pertamina sedang membangun unit green diesel dengan kapasitas produksi sebesar 20 ribu barel per hari. “Kami mampu memproduksi bahan bakar renewable yang pertama di Indonesia dan hasilnya tidak kalah dengan perusahaan kelas dunia,” ujar Nicke.

Pengolahan RBDPO menjadi D100 di kilang Dumai, Riau, dapat terealisasi dengan bantuan katalis bernama Katalis Merah Putih. Produk ini diproduksi oleh Pertamina Research and Technology Center bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung.

(Baca: Mengenal Istilah B20, B30, B100, BBN dalam Bioenergi)

Presiden Joko Widodo dan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati saat peresmian implementasi program B30. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Beda B100 dan D100?

Pemerintah saat ini sedang berupaya mempercepat bauran energi, termasuk program B100 dan D100. Lantas, apa beda keduanya?

Melansir dari situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biodiesel 100 atau B100 adalah BBN atau biofuel untuk aplikasi mesin atau motor diesel berupa FAME yang dihasilkan dari bahan baku hayati dan biomassa lainnya yang diproses secara esterifikasi.

Pemerintah awalnya mewajibkan pencampuran 20% biodiesel dengan 80% BBM jenis solar alias B20. Program yang berjalan sejak Januari 2016 itu sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga BBN (biofuel) sebagai bahan bakar lain.

(Baca: Pertamina Produksi B100 di Kilang Cilacap Mulai Tahun Depan)

Sementara, D100 adalah istilah 100% green diesel atau solar hijau. BBN ini diolah dari minyak sawit dengan katalis. Mengutip dari Majalah Sawit Indonesia, sifat bahan bakar ini sama dengan solar dari minyak bumi. Karena itu D100 pun dapat dibuat campurannya, seperti B20D25. Artinya, bahan bakar itu mengandung FAME 20%, green diesel 25%, dan sisanya solar minyak bumi.  

Ada pula istilah G100, yaitu bensin dengan kandungan 100% green gasoline. Bahan bakar ini terbuat dari minyak sawit dan katalis. Jika tertulis G25 artinya bahan bakar itu mengandung gasoline 25%, sisanya bensin berbasis minyak bumi.

Terakhir, yaitu J100. BBN ini adalah avtur yang mengandung 100% green jetfuel dari minyak inti sawit atau PKO dengan katalis. BBN J10 berarti 10% kandungannya adalah green jetfuel dan sisanya kerosen minyak bumi.

Ilustrasi biodiesel B20. (KATADATA/Arief Kamaludin)

Jalan Panjang BBN Indonesia

Pertamina masih mencari celah membuat harga B100 menjadi kompetitif. Karena itu, perusahaan pelat merah ini meminta dukungan pemerintah agar ada kewajiban bagi produsen sawit untuk memasok kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).

Nicke mengatakan, aturan DMO harus dibuat agar ketersediaan pasokan CPO terpenuhi dan harga jualnya menjadi lebih murah ketimbang ekspor. “Keberlangsungan green diesel dan green gasoline perlu dukungan DMO, baik volume maupun harga,” ujarnya pada 29 Januari lalu.

Perusahaan sawit Indonesia memang lebih memilih mengekspor komoditas CPO. Pasalnya, komoditas ini lebih menguntungkan ketimbang mengolahnya menjadi biodiesel. Hal ini yang membuat capaian produksi BBN Indonesia di 2019 hanya 75% dari target atau sebanyak 6,26 juta kiloliter.

(Baca: Pertamina Siap Produksi B100, Tapi Minta DMO Kelapa Sawit)

Menurut data TradeMap, pada 2018 Indonesia memenuhi 63,9% pasar di India dan 59% di Tiongkok. Kecenderungan ekspor CPO ini menjadi salah satu penghambat Indonesia sulit memenuhi target pemakaian BBN.

Usaha mengurangi ketergantungan energi fosil dilakukan pada 2016 melalui kebijakan B20. Pada 2018, Presiden Joko Widodo pernah mengeluarkan perintah agar mandatory pemakaian bahan bakar itu dijalankan secara masif di semua sektor.

Mandatori B20 itu tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018 juncto 45 Tahun 2018. Produksi biofuel terutama biodiesel mengalami peningkatakan signifikan.

Selanjutnya, pemerintah meningkatkan pemanfaatan biofuel sebesar 30% atau B30. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 yang memuat mandatori B30 mulai 2020. Setelah B30, Pertamina lalu memproduksi biodiesel B100.

(Baca: PLN Sebut Penggunaan B100 Dapat Merusak Mesin Pembangkit Listrik)

Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)

Reporter: Verda Nano Setiawan