TAK ada aneka lomba dan pawai rakyat di pelosok negeri untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia tahun ini. Upacara dan pengibaran bendera merah-putih di depan Istana Merdeka, Jakarta, juga hanya diikuti Presiden Joko Widodo bersama sekitar 20-an orang. HUT RI tahun ini memang jauh dari keramaian dan tanpa kemegahan, juga sedikit mencekam karena negeri ini sedang dilanda pandemi Covid-19.
Hampir enam bulan lamanya virus asal negeri Tiongkok tersebut sudah 'menjajah' Indonesia. Hingga 15 Agustus lalu, sekitar 137 ribu orang yang terinfeksi dan 6.000 orang meninggal dunia. Alih-alih berkurang, jumlah korbannya terus meningkat saban hari.
Harapan menemukan vaksin virus tersebut masih jauh di depan mata. Sementara, dampaknya sudah membuat ekonomi semaput, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), dan tingkat kemiskinan melejit. Ekonomi Indonesia pun kini di ambang resesi.
Upaya pemerintah memerangi Covid-19 tak kurang keras. Dana ratusan triliun dikucurkan untuk menangani pandeki sekaligus memulihkan perekonomian. Tak cuma pemerintah pusat dan daerah, semua lini bergerak agar Indonesia segera merdeka dari pandemi: tenaga kesehatan, perusahaan, ilmuwan dan akademisi hingga masyarakat umum.
Para tenaga kesehatan mesti berhadapan dengan sejumlah kendala, dari yang ringan sampai mengancam nyawa. Deborah Johana Ratu, dokter Kepala Puskesmas di Kelurahan Pasir Kaliki, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung, menjadi sasaran amuk satu keluarga yang salah satu anggotanya reaktif Covid-19.
Saat itu Deborah datang untuk melakukan tes cepat atau rapid test kepada anggota keluarga lainnya. “Naon iyeu? (ada apa ini?). Puskesmas kenapa cari gara-gara?” ucap dr. Deborah menirukan pernyataan salah satu anggota keluarga saat menceritakan kejadian ini kepada Katadata.co.id, Sabtu (8/8).
Dengan sisa nyali dan tenaga di tengah teriknya matahari pukul 12 siang, Deborah berusaha menjelaskan kembali maksudnya. Bahwa, tes cepat adalah bagian protokol pelacakan kontak terdekat dengan seorang yang reaktif. Tujuannya memastikan kondisi kesehatan mereka dan mencegah penularan lainnya.
Penjelasannya tetap tak diterima. Salah seorang anggota keluarga justru mengajak berkelahi perawat yang turut bersama Deborah. Perdebatan pun terus berlanjut tanpa ujung dan keadaan semakin panas.
Sampai akhirnya, brak!, sebuah batu menghantam badan mobil ambulans yang digunakan rombongan ke rumah keluarga tersebut.
Deborah akhirnya mengalah. Ia dan rombongan kembali ke Puskesmas demi mencegah keributan yang lebih besar. Padahal, pelacakan mesti tetap dilakukan karena Kecamatan Cicendo adalah lokasi pertama Covid-19 menginfeksi warga Kota Bandung.
Data Dinas Keshatan Kota Bandung yang diakses melalui laman covid19.bandung.go.id menyatakan, per 14 Agustus 2020, total 51 orang terkonfirmasi Covid-19 di Kecamatan Cicendo dan menjadi yang tertinggi di antara kecamatan lain. Lebih dari setengah jumlah tersebut berada di Kelurahan Pasir Kaliki.
Namun penolakan tak pernah menyurutkan Deborah melakukan pelacakan. Ia menyatakan sampai Juli telah melacak dan mengetes cepat lebih kurang 1800 orang di Puskesmasnya.
Hasilnya, data terbaru Dinas Kesehatan Kota Bandung menyatakan tak ada tambahan pasien terkonfirmasi Covid-19 di Kelurahan Pasir Kaliki dan hanya 2 kasus yang masih aktif di Kecamatan Cicendo.
Ketegangan dengan keluarga pasien juga dihadapi Aditya Caka, dokter di Rumah Sakit Royal, Rungkut, Surabaya yang menjadi salah satu tempat rujukan Covid-19. Saat itu ia hendak menjalankan protokol pemakaman untuk jenazah pasien corona.
Tapi keluarga almarhum menolaknya. Mereka bersikeras ingin membawa pulang jenazah dan memakamkannya sendiri. “Akhirnya saya ngotot-ngototan dengan anaknya pasien,” kata pria lulusan Fakultas Kedokteran UI ini kepada reporter Katadata.co.id, Jumat (7/8).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang diteken Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 13 Juli, protokol pemulasaraan jenazah pasien corona di antaranya, tak boleh disemayamkan di rumah duka, boleh dimandikan setelah dilakukan disinfeksi, dimasukkan ke peti tertutup, dan mesti dikuburkan tak lebih dari 24 jam setelah meninggal dengan kehadiran petugas kesehatan.
Protokol tersebut, seperti dikatakan Juru Bicara Satgas Covid-19 Reisa Broto Asmoro pada 17 Juli lalu, berdasarkan anjuran organisasi kesehatan dunia (WHO) dan pertimbangan pemuka agama.
Selain itu, Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis pada 5 Juni telah mengeluarkan Surat Telegram Nomor ST/1618/VI/Ops.2/2020 agar polisi di daerah bekerja sama dengan rumah sakit rujukan dalam menghindari kejadian seperti dialami Aditya.
Surat Kapolri tersebut, kata Aditya, sangat membantunya menghadapi perkara sejenis yang memang beberapa kali terjadi lagi. Bantuan polisi membuat keluarga pasien lebih mudah menerima pelaksanaan protokol pemulasaraan jenazah karena tak mau berurusan dengan hukum.
Bertarung dalam Keterbatasan
Di samping kendala-kendala tersebut, tenaga kesehatan juga mesti bertarung dengan virus corona di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan (selanjutnya ditulis faskes). Deborah dan Aditya mengaku kesulitan mendapatkan alat pelindung diri (APD), seperti masker N95 dan pakaian hazmat, pada awal pandemi merebak.
Sebagai siasat, mereka menggunakan jas hujan, kaca mata renang, sampai masker kain. Seluruh pakaian tersebut sebenarnya tak sesuai dengan standar WHO dan membuat mereka tetap berisiko tinggi tertular corona dari pasien. Namun, seperti kata Deborah, “daripada tidak sama sekali.”
Organisasi nirlaba Solidaritas Berantas Covid-19 pada April lalu atau sebulan setelah pandemi merebak di negeri ini, kebutuhan APD secara nasional mencapai 3,8 juta unit. Kebutuhan terbanyak di Jawa Barat dengan 775,3 ribu unit disusul Jawa Timur dengan 510,9 ribu unit, tempat Deborah dan Aditya bertugas.
Rincian kebutuhan APD nasional berdasarkan provinsi bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:
Meskipun tak separah kondisi di tempat Aditya dan Deborah, keterbatasan APD juga dialami Anggraini Charisma yang menjadi perawat bagian ruang High Care Unit (HCU) di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Ruang itu adalah tempat pasien yang memerlukan inkubasi khusus karena keadaannya buruk.
Untuk menjalankan tugas, Anggraini membutuhkan seragam APD level 3 yang meliputi baju hazmat, pelindung wajah, kacamata goggles, penutup rambut, masker, sarung tangan, dan sepatu bot. “Jadi kami sekali pakai tidak bisa melepasnya sampai shif berakhir,” kata gadis berusia 25 tahun asli Cempaka Putih, Jakarta ini kepada reporter Katadata.co.id, Sabtu (8/8).