Potensi Meledaknya Klaster Pasar saat Anies Tekan Corona Perkantoran

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.
Petugas kebersihan berjalan di depan toko yang tutup di Pasar Asem Reges, Jakarta Barat, Selasa (21/7/2020). Pengelola Pasar Asem Reges menutup sementara pasar tersebut dari Senin (20/7) hingga Rabu (22/7) menyusul satu orang pedagang terkonfirmasi positif COVID-19 berdasarkan hasil tes usap (swab test).
19/9/2020, 06.00 WIB

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diambil Gubernur DKI Anies Baswedan menyisakan pertanyaan apakah klaster Covid-19 akan muncul dari pasar atau kegiatan ekonom lainnya.

Apalagi Anies dalam sejumlah kesempatan menyampaikan bahwa pembatasan aktivitas akan menyasar perkantoran yang dianggap sebagai biang keladi melonjaknya infeksi corona.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu mengurangi kapasitas kantor sejumlah sektor strategis seperti keuangan, logistik, hingga kesehatan hingga 50%. Sedangkan pasar tetap bukan dengan kapasitas separuh seperti PSBB transisi.

Namun bersamaan dengan tarik rem klaster perkantoran, muncul pula sejumlah kasus corona di lingkungan pedagang pasar. Dari data Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), sudah ada 14 orang pedagang di Jakarta yang terkena corona saat PSBB jilid II.

Satu merupakan pedagang Pasar Mayestik, Jakarta Selatan. Sedangkan 13 adalah pedagang Pasar Kalimati, Jakarta Pusat. “Setelah PSBB, ada dua pasar terpapar, jangan lagi ada kondisi sulit,” kata Ketua Bidang Infokom Ikappi Reynaldi Sarijowan kepada Katadata.co.id, Jumat (18/9).

Meski demikian, mereka meminta Anies tak menutup pasar dengan alasan berpotensi menurunkan pendapatan pedagang. “Karena 60-70% penghasilan pedagang turun,” kata dia.

Dari data Pemprov, hingga 7 September sudah ada 87 klaster pasar yang muncul di ibu kota. Jakarta Pusat dan Barat menyumbang kasus terbanyak yakni masing-masing 26.

Sedangkan pakar menganggap model PSBB yang tak berskala total ini membuka kans munculnya klaster pasar. Apalagi angka positif corona di atas 10%. “Jangan heran akan ada klaster-klaster lagi,” kata epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman kepada Katadata.co.id, Jumat (18/7).

Makanya Dicky berharap pengusaha dan pelaku usaha yang kerap meminta kelonggaran menjalankan protokol kesehatan dengan ketat. Salah satu caranya dengan membatasi jam operasional dengan kepatuhan.

Selain waktu operasional, pemberlakuan protokol juga harus dilakukan oleh masyarakat sendiri. Mereka bisa membatasi waktu dan tidak membiarkan orang lanjut usia dan memiliki penyakit penyerta pergi berbelanja keluar rumah.

“Kalau semua pihak mawas diri, saya yakin ini sangat membantu. Di sisi lain pemerintah terus melakukan tes dan penelusuran,” kata Dicky.

Reynaldi Sarijowan juga mengamini pernyataan Dicky. Dia berharap DKI dapat membantu para pedagang untuk menjalankan protokol dengan ketat. “Misalnya kami perlu diberikan plastik untuk membatasi interaksi fisik,” kata Reynaldi kepada Katadata.co.id.

Dia juga mengakui bahwa potensi klaster bisa saja terjadi jika kondisi ini terus berjalan saat PSBB. Namun di sisi lain situasi bertambah sulit karena pedagang telah kehilangan pendapatan 60 hingga 70%. “Kami akan ikut asal dilibatkan dalam proses kebijakan,” katanya.

Ekonomi atau Kesehatan

Pernyataan Reynaldi ini mewakili pertanyaan besar yang terjadi di kala pagebluk menghantam RI yakni mendahulukan kesehatan atau ekonomi. Pembelahan antara kesehatan dan ekonomi juga terjadi di tingkat masyarakat. 

Dari hasil survei  Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) 75,5% responden menyatakan kesehatan lebih penting daripada ekonomi. “Ada peningkatan persepsi terhadap pentingnya kesehatan sebanyak 11% dalam rentang waktu Juni hingga September ini,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo

Dilema antara dua sektor ini juga terjadi di antara pejabat daerah hingga Menteri. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sempat mengatakan dirinya sulit untuk memilih kesehatan dan ekonomi.

Begitu juga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menghadapi kendala serupa lantaran salah satu bisa mengancam nyawa manusia. “Sementara yang satu juga bisa mengancam jiwa melalui pendapatan masyarakat," kata Sri Mulyani.

PASAR ASEM REGES DITUTUP SEMENTARA (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.)

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan RI tak bisa memilih antara mendahulukan kesehatan atau ekonomi. Namun, masyarakat perlu melewati pandemi dengan kondisi ekonomi mereka yang terjaga. "Jadi, tujuan kebijakannya sampai vaksin datang," katanya.

Apalagi 58% ekonomi Indonesia ditopang dari sektor konsumsi. Oleh sebab itu pemerintah perlu memetakan pekerja sektor mana saja yang berisiko terdampak dan memerlukan bansos paling cepat. “Pekerja salon, pelayan, sektor pariwisata itu diberi dukungan,” kata dia.

Penasihat Direktur Jenderal WHO bidang Gender dan Kepemudaan Diah Satyani Saminarsih berharap PSBB bisa diimbangi daerah dalam menggelar tes dan penelusuran kasus aktif.

Diah juga mengatakan saat ini sudah terlambat bagi pemerintah untuk memilih salah satu sektor untuk dibenahi terlebih dulu. Ini lantaran mereka dianggap telah terlambat menangani penularan Covid-19 saat PSBB pertama.

“Karena orang akan (bersedia) ada di rumah kalau masih punya tabungan. Namun tabungan sudah habis saat PSBB sebelumnya,” kata Diah.