Jokowi Minta 40 Aturan Turunan Omnibus Law Dikebut dalam Sebulan

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Mobil petugas yang dirusak massa aksi saat penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja di Kawasan Palmerah, Jakarta Pusat, Rabu (7/10/2020). Aksi tersebut menolak pengesahan UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI karena dinilai sudah menciderai hak-hak buruh.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
8/10/2020, 11.02 WIB

Pemerintah akan segera menyusun 40 aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law. Presiden Joko Widodo meminta para menteri untuk mengebut penyusunannya dalam waktu sebulan.

“Permintaan Presiden diselesaikan dalam waktu satu bulan, walaupun perundang-undangan membolehkan waktu penyusunan aturan turunan selama tiga bulan,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (7/10).

Ia mengatakan, 40 aturan tersebut terdiri dari 35 Peraturan Pemerintah (PP) dan 5 Peraturan Presiden. 

Salah satu PP yang akan disusun ialah mengenai daftar positif investasi, yaitu daftar yang berisi bidang dan sektor yang boleh dimasuki penanaman modal asing. Nantinya, aturan tersebut akan memuat daftar investasi yang mendapatkan fasilitas fiskal dan non fiskal.

Sebagaimana diketahui, UU Cipta Kerja menuai protes dari berbagai kalangan, salah satunya buruh. Berbagai serikat buruh tengah mendesak agar pemerintah mencabut UU Cipta Kerja yang beberapa waktu lalu sudah disahkan.

Di antaranya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mempermasalahkan pembahasan omnibus law yang terburu-buru  dan dinilai seperti "kejar tayang". Di samping itu, ada berbagai permasalahan mendasar yang dinilai merugikan hak buruh dan berdampak pada kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan jaminan sosial.

Selain itu, Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre Andriko Otang mengatakan, serikat pekerja akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi setelah UU tersebut diundangkan.

"Serikat pekerja berkomitmen jika UU Cipta Kerja sudah disahkan, kami akan lakukan judicial review bersama-sama. Perjuangan belum selesai," kata Andriko dalam sebuah webinar bertajuk "Omnibus Ciptaker Sah, Apa Kabar Hak Masyarakat?", Selasa (6/10).

Dengan aturan sapu jagad tersebut, ia memperkirakan setiap orang berpotensi tidak mendapatkan pekerjaan yang layak dan berkesinambungan untuk jangka waktu yang lama. Oleh karenanya, pekerja/buruh akan terus mendorong pemerintah untuk membatalkan atau mengubah substansi UU Cipta Kerja.

Di sisi lain, serikat pekerja juga mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem jaminan sosial yang dinilai masih lemah. Sebab, jaminan sosial merupakan solusi bagi perlindungan warga negara secara menyeluruh.

"Ini saatnya kita memikrikan sistem jaminan sosial yang harus diperbaharui, di samping perjuangkan hak dan perlindungan bagi tenaga kerja," ujar dia.

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Ary Hermawan menyoroti minimnya keterlibatan publik dalam proses pengesahan UU Cipta Kerja. Hal ini tidak sesuai dengan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Ia menilai UU Cipta Kerja telah melanggengkan praktik non standar serta tidak progresif dibandingkan UU yang berlaku sebelumnya. Sebab, banyak ketentuan yang melanggar prinsip non-retrogesi dalam konteks pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Sebagai contoh, ketentuan Perjanian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dinilai melanggar hak pekerja atas kemanan pekerjaan. Sebab, UU Cipta Kerja menyebut PKWT didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu. Ketentuan jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja PKWT diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Sementara, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dibatasi paling lama dua tahun dan diperpanjang satu kali untuk satu tahun ke depan.

Selain itu, penyusunan UU Cipta Kerja juga tidak sesuai dengan Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Pasal 25 ICCPR menyebutkan, setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan untuk mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan publik, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas. Pasal 5 Komentat Umum Nomor 25 menyebutkan, keterlibatan ini mencakup formulasi dan implementasi kebijakan di tingkat lokal

Ary pun mempertanyakan pengesahan UU Cipta Kerja dilakukan lebih cepat dari jadwal. Pembahasannya pun dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu. "Ini bisa dibilang absurd, sengaja pemerintah berusaha untuk lebih cepat. Bisa dibilang pengkhianatan kepercayaan publik," ujar dia.

 

Reporter: Rizky Alika