Uji Materi Omnibus Law Diramal Bakal Lalui Proses Panjang di MK

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
Ruangan sidang di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (24/7/2020).
Penulis: Yuliawati
21/10/2020, 07.30 WIB

Dua pekan setelah pemerintah bersama DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau omnibus law pada 5 Oktober lalu, permohonan pengajuan uji formil dan material di Mahkamah Konstitusi (MK) terus bertambah. Hingga Selasa (20/10) terdapat empat permohonan uji formil dan material atas UU Cipta Kerja.

Ahli dan pengamat hukum menilai proses peninjauan kembali atau judicial review UU Cipta Kerja bukanlah proses yang mudah. Alasannya, materi yang diatur sangat kompleks yang tersebar di 15 bab yang termaktub dalam 812 halaman.

Pakar hukum pidana dan HAM Harkristuti Harkrisnowo menyatakan dalam uji material hakim MK kemungkinan kesulitan menilai apakah rumusan pasal dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi. Hakim MK perlu melihat satu per satu pasal yang jumlahnya sangat banyak, meskipun aturan tersebut terbagi berdasar klaster. “Pekerjaan MK menjadi sangat berat," kata Harkristuti dalam sebuah diskusi virtual beberapa waktu lalu.

Padahal untuk uji materi UU biasa pun memerlukan waktu panjang seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menginjak satu tahun namun belum ada putusan. "Padahal pasal UU KPK hanya beberapa saja."

Harkristuti menghitung dalam UU Cipta Kerja terdapat 454 kata pidana dan kata sanksinya sekitar 100-an. Untuk mempelajari persoalan hukum yang sangat bervariasi perlu melibatkan banyak ahli hukum. "Satu orang hukum tidak bisa bicara tentang itu semua karena masalahnya berbeda-beda. Orang hukum kan bicara dalam bidang masing-masing," kata dia.

Dalam uji materi yang terpenting membuktikan pasal-pasal yang digugat telah melanggar konstitusi. Sehingga Hakristuti mengatakan uji materi ini menjadi sangat kompleks yang akan membutuhkan proses panjang di MK. "Apakah upah buruh melanggar HAM pekerja dalam konstitusi? Itu perlu pemikiran dan perdebatan panjang dalam MK," kata dia.

Harkristuti mengatakan uji materi bukan sesuatu yang tidak mungkin, tapi kemungkinan akan memakan waktu yang tidak sedikit dan banyak berkas yang perlu disiapkan. "Satu klaster saja dipegang beberapa kementerian. Bagaimana dengan stakeholder-nya?"



Pakar hukum Acmad Santosa mengungkapkan hal yang sama perihal proses judicial review. Dia menyatakan tidak realistis untuk mengajukan secara keseluruhan pasal yang ada dalam omnibus law. Ota, nama panggilannya, menyarankan institusi maupun individu mengajukan uji materi sesuai dengan kemampuan spesifik yang dimiliki di bidang tertentu.

Hal itu tetap penting untuk fokus merumuskan masalah meskipun hakim MK memiliki kewenangan menggabungkan permohonan yang berbeda ke dalam satu kali persidangan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 11 Peraturan MK Tahun 2005. “Dapat dilakukan, tetapi agak repot. Dengan kesamaan pokok permohonan, keterkaitan materi permohonan, pertimbangan pemohon. Namun, kalau uji formil tidak bisa dipecah,” kata Ota.

Mengajukan permohonan ke MK merupakan mekanisme konstitusional yang diatur Undang Undang Dasar (UUD) 1945 bila warga negara tidak setuju terhadap suatu undang-undang. Permohonan dapat berupa uji formil dan material.

Pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang yang tidak sejalan dengan konstitusi. Keputusan uji formil dapat membatalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan.

Pengujian materil adalah pengujian atas pasal, ayat, atau bagian dari UU Cipta Kerja yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK dapat membatalkan pasal, ayat, atau bagian undang-undang itu.

Kritik terhadap Omnibus Law

Pembahasan UU Cipta Kerja mendapatkan banyak kritik, salah satunya dari dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Zainal mengkhawatirkan ada perubahan jika suatu UU telah disahkan.

Dia lalu mncontohkan kejadian seperti ini pernah terjadi pada hilangnya Ayat Tembakau pada pembahasan Rancangan Undang-undang Kesehatan sewindu lalu. Tak hanya itu, polemik soal kalimat pernah terjadi pada ketentuan usia dalam UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Karena itu substansi, dan pengesahan itu sifatnya administratif,” kata Zainal, dalam akun Instagram yang diatribusikan sebagai dirinya, Minggu (11/10).


Kritik juga datang dari Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Feri Amsari yang mempermasalahkan keterbukaan pembahasan dan akses publik untuk mengetahui naskah asli. Menurut Feri, hal itu tak sejalan dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan.

Dalam huruf G Pasal 5 disebutkan bahwa azas pembentukan aturan yang baik harus memenuhi aspek keterbukaan. Tak hanya itu, Feri juga mengatakan UU Cipta Kerja tak memenuhi ketentuan Pasal 96 aturan yang sama. Dalam Pasal tersebut, masyarakat berhak mendapatkan akses aturan yang dirancang demi memudahkan memberi masukan. “Jadi tindakan ini lebih mirip dengan pemalsuan dokumen,” kata Feri kepada Katadata.co.id, Senin (12/10).

Adapun Ketua Baleg Supratman Andi Atgas membantah pembahasan RUU Cipta Kerja berlangsung tertutup. Dia menyatakan semua rapat dibuka aksesnya baik melalui televisi parlemen maupun media sosial DPR.