Naskah Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law yang dimiliki Sekretariat Negara ternyata berbeda jumlah halamannya dengan versi DPR. Sekretariat Negara memiliki naskah dengan jumlah 1.187 halaman, berbeda dengan versi DPR sebanyak 812 halaman.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan naskah UU Cipta Kerja yang disiapkan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) sama dengan naskah yang disampaikan oleh DPR kepada presiden.
"Sebab, naskah yang sama, yang diformat pada ukuran kertas yang berbeda, dengan margin yang berbeda dan font yang berbeda, akan menghasilkan jumlah halaman yang berbeda," kata Pratikno dalam keterangannya, Kamis (22/10).
Sebelum diberikan kepada presiden, lanjut dia, Kementerian Setneg memeriksa hal teknis dan mengubah format sehingga beleid tersebut dapat siap untuk diundangkan. Setiap naskah UU yang akan ditandatangani presiden dibuat dalam format dengan ukuran yang baku.
Perbaikan teknis yang dilakukan Setneg seperti salah ketik (typo) dan lain-lain. Pratikno mengatakan perbaikan pun atas persetujuan pihak DPR, yang dibuktikan dengan paraf Ketua Baleg.
Selain penambahan halaman, ternyata ada pasal yang hilang dari naskah yang dikeluarkan Setneg. Pada naskah versi DPR terdapat Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang masuk dalam bagian Paragraf 5 tentang Energi dan Sumber Daya Mineral. Nah, dalam versi Setneg, Pasal 46 tersebut hilang.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menjelaskan Pasal 46 yang hilang tersebut seharusnya memang dihapus dari UU Ciptaker karena terkait tugas Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas. "Jadi kebetulan Setneg yang temukan. Jadi, itu seharusnya memang dihapus, karena itu terkait dengan tugas BPH Migas," kata Supratman dikutip dari beberapa media.
Supratman menjelaskan awalnya pemerintah mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, DPR menolak usulan tersebut dalam pembahasan di Panitia Kerja RUU Ciptaker Baleg DPR.
Pasal 46 dalam UU Cipta Kerja dalam versi DPR ini terdiri dari beberapa ayat, yakni: ayat (1) berbunyi: Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa dilakukan oleh Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).
Ayat (2) berbunyi: Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan Pemerintah Pusat dapat terjamin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi di dalam negeri. Ayat (3) menjelaskan tugas Badan Pengatur.
Beredarnya aneka macam naskah UU Cipta Kerja dengan jumlah halaman yang berbeda-beda memunculkan kekhawatiran terjadinya penyusupan pasal dan ayat tambahan ketika diserahkan ke presiden. Apalagi tak ada transparansi yang memudahkan publik memperoleh naskah asli selama proses pembahasan. “Jadi tindakan ini lebih mirip dengan pemalsuan dokumen,” ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi Feri Amsari.
Kekhawatiran yang sama diungkapkan ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Kekhawatiran ini tak mustahil karena pernah terjadi pada hilangnya Ayat Tembakau pada pembahasan Rancangan Undang-undang Kesehatan sewindu lalu.
Tak hanya itu, polemik soal kalimat pernah terjadi pada ketentuan usia dalam UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Karena itu substansi, dan pengesahan itu sifatnya administratif,” kata Zainal, dalam akun Instagram yang diatribusikan sebagai dirinya, Minggu (11/10).