Pemerintah gencar menggelontorkan beragam bantuan sosial atau bansos untuk memulihkan ekonomi di tengah pandemi. Namun, ratusan triliun dana yang dikucurkan tersebut belum optimal meningkatkan daya beli masyarakat di tengah pandemi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2020 mengalami kontraksi 4,04% secara tahunan. Kinerja konsumsi rumah tangga ini menjadi komponen yang paling memberatkan laju pertumbuhan ekonomi hingga masuk ke jurang resesi.
Sementara, belanja pemerintah tumbuh 9,76% secara tahunan. Ini menjadi satu-satunya komponen pengeluaran yang mengalami pertumbuhan positif pada triwulan III.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, seluruh komponen belanja pemerintah naik drastis, baik melalui transfer daerah hingga dana desa. Namun, yang paling tinggi adalah belanja pemerintah pusat.
"Ini tercermin dari pertumbuhan belanja barang 47,48%. Lalu tercermin dari belanja hibah dan belanja bansos yang meningkatnya tinggi sekali 246,25%," kata Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Kamis (5/11).
Ragam Bantuan
Adapun, realisasi anggaran program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) mencapai Rp 366,86 triliun hingga 2 November 2020. Jumlah tersebut sebesar 52,8% dari pagu anggaran Rp 695.2 triliun.
Di dalamnya, realisasi anggaran perlindungan sosial dalam program penanganan virus corona Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional telah mencapai Rp 200,18 triliun atau 98,2% dari pagu Rp 203,9 triliun per 30 Oktober 2020. Secara rinci, realisasi anggaran paling besar berasal dari Program Keluarga Harapan sebesar Rp 36,71 triliun atau 98,2% dari pagu Rp 37,4 triliun.
Realisasi anggaran terbanyak kedua berasal dari program sembako sebesar Rp 34,46 triliun atau 79% dari pagu Rp 43,6 triliun. Realisasi anggaran untuk bantuan sosial (bansos) tunai non-Jabodetabek mencapai Rp 28,33 triliun atau 84,8% dari pagu Rp 33,42 triliun. Banpres produktif terealisasi Rp 21,97 triliun atau 99,93% dari pagu 22 triliun.
Kemudian, realisasi anggaran Kartu Pra-Kerja mencapai 19,87 triliun bantuan langsung tunai dana desa telah tersalur Rp 17,99 triliun, subsidi upah 14,88 triliun, bantuan keringanan listrik Rp 8,89 triliun, bansos sembako Rp 5,37 triliun.
Lalu, bantuan uang tunai (non-PKH) Rp 4,62 triliun, bansos beras Rp 3,15 triliun, bantuan pesantren, madrasah, dan pendidikan Al-Quran Rp 2,02 triliun, serta subsidi JKN mandiri kelas 3 Rp 1,92 triliun.
Seberapa Efektif?
Dengan banyaknya program bansos yang bergulir, mengapa konsumsi domestik masih lemah? Menurut Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah, jawabannya adalah penanganan pandemi Covid-19 yang belum maksimal.
Berikut adalah Databoks penambahan harian kasus Covid-19 di Indonesia:
Meski kurva penularan tampak melandai, penambahan kasus di kisaran 4.000 per hari membuat masyarakat tetap was-was. Sebesar apapun bansos yang digelontorkan pemerintah, perekonomian dan konsumsi masyarakat tidak akan serta merta bergerak naik. "Mau diguyur Rp 1.000 triliun pun tidak akan jalan ekonomi," kata Rusli kepada Katadata, Jumat (6/11).
Menurutnya, pemulihan kesehatan menjadi kunci agar perekonomian kembali bergerak. Sebab, masyarakat akan lebih percaya diri untuk kembali membelanjakan uang mereka.
Ia menilai, bansos hanya untuk menjaga daya beli masyarakat miskin agar tidak semakin jatuh. Rusli menyebutkan, konsumsi rumah tangga akan merosot seiring dengan peningkatan pengangguran.
Mereka yang mengalami penurunan atau bahkan kehilangan pendapatan otomatis tentu akan membatasi kegiatan belanja atau konsumsinya. Dalam hal ini, bansos diperlukan untuk melindungi kelompok tersebut.
Selain itu, Rusli juga mengamati fenomena Sebagian korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di kota yang memilih untuk pulang kampung. Oleh karenanya, ia berharap dana desa dapat dioptimalkan untuk menyalurkan bansos tunai bagi kelompok masyarakat yang tak bekerja tersebut.
"Bila pandemi belum juga mereda, bansos tahun depan harus dipertahankan. Paling tidak jumlahnya sama dengan tahun ini," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah memang melanjutkan program perlindungan sosial melalui Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021. Namun, anggaran perlindungan sosial tahun depan hanya sebesar Rp 110,2 triliun, turun 45,9% dibandingkan anggaran PEN 2020.
Anggaran perlindungan sosial itu dialokasikan untuk program keluarga harapan kepada 10 juta penerima, kartu sembako sebesar Rp 200 ribu per penerima, dana desa, kartu prakerja, serta bansos tunai kepada 10 juta penerima Rp 200 ribu selama enam bulan.
Sementara itu, ekonom senior sekaligus Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menyebutkan, pandemi tidak hanya menurunkan tingkat konsumsi masyarakat miskin yang menjadi sasaran bansos.
Menurutnya, ada kecenderungan masyarakat kelas menengah dan atas untuk menahan belanja. Mereka lebih banyak menyimpan uangnya sebagai dana darurat. Buktinya, dana pihak ketiga di bank naik. Simak Databoks berikut:
Kondisi ini tentu tak ideal, sebab kelas menengah adalah roda penggerak ekonomi, khususnya kegiatan konsumsi di Indonesia. "Kelompok menengah atas menyumbang porsi sekitar 60% terhadap konsumsi rumah tangga," ujar dia.
Berbeda dengan warga miskin yang konsumsinya dapat disokong bansos, kecenderungan masyarakat kelas menengah dan mereka yang kaya untuk menahan belanja ini sulit diintervensi pemerintah.
Satu-satunya solusi untuk menggerakkan konsumsi masyarakat menengah ke atas ialah pengendalian Covid-19. "Sebab orang kaya lebih takut pada pandemi," katanya.
Piter juga menyoroti kondisi masyarakat kelas menengah ke bawah juga mengalami penurunan daya beli selama pandemi. Kondisi ini misalnya terjadi pada pekerja yang mengalami PHK atau potong gaji.
Kalaupun mereka mendapat bansos, baik melalui bantuan tunai, subsidi gaji atau kartu prakerja, dana tersebut dinilai hanya mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Bantuan tersebut tidak cukup untuk mengembalikan daya beli mereka seperti sebelum pandemi.
"Misalnya, seseorang terkena PHK dan kehilangan pendapatan Rp 4 juta. Bansos hanya Rp 600 ribu. Ini tidak bisa menutup semua daya beli yang hilang," katanya.
Ia pun juga menilai, bansos perlu diperluas lantaran belum ada kepastian akhir dari pandemi virus corona. Selain itu, evaluasi program bansos juga diperlukan guna memastikan bantuan yang disalurkan tepat sasaran.