Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB pagi. Setelah selesai dengan urusan rumah tangga, perempuan adat Kasepuhan Cirompang, Lebak, Banten, berjalan menuju perkebunan sayur. Sambil bercengkerama, mereka menapaki jalanan kecil di antara petak-petak kebun. Terdapat beragam jenis sayur dan rempah ditanam di sana. Sebagian hasil panennya untuk keperluan sehari-hari, sebagian lainnya dijual.
Kegiatan ini berjalan sejak 2015 lalu. Sebelumnya, perempuan adat Kasepuhan hanya dianggap sebagai pendamping laki-laki. Perempuan di posisi ketiga setelah suami, ayah, saudara laki-laki dan anak-anak. Tugasnya mengurus rumah, menjaga anak. Dalam kegiatan masyarakat, perempuan hanya bertugas menyiapkan makanan dan minuman. Di dunia pendidikan, hanya laki-laki yang boleh bersekolah. Di dunia kerja, hanya laki-laki yang boleh bekerja.
Menyadari peran perempuan lebih dari sekadar mengurus rumah tangga, Titin Yulianti perempuan adat Kasepuhan Cirompang, memutuskan untuk berperan lebih besar bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya. Ia pun mengajak perempuan adat lainnya bergabung untuk tidak mengandalkan laki-laki dalam kegiatan apapun. Ia mengetuk pintu hati perempuan adat lainnya untuk turut berpartisipasi lebih dalam kehidupan sehari-hari.
“Selama ini kami tidak diberi kesempatan untuk bicara. Padahal banyak hal yang ingin kami sampaikan. Kami harus ngomong. Kalau kami tidak diberi kesempatan, bagaimana mau menyampaikan?” ujar Titin seperti dilansir dari video Kemitraan.
Titin beserta perempuan adat lainnya kemudian mendiskusikan niatnya kepada pemangku adat. Setelah berdiskusi, akhirnya para perempuan adat diberikan ruang untuk beraktivitas di luar urusan mengurus rumah tangga. “Zaman sudah berubah, kebutuhan hidup juga berbeda. Selama tidak melanggar nilai-nilai adat, kami persilakan perempuan berkegiatan,” ujar Ateng Wahyudin, anak ketua adat Cirompang, seperti yang dilansir dari DAAI TV.
Perempuan adat yang diketuai Titin kemudian membentuk kelompok tani perempuan Cirompang. Nama kelompoknya Sindang Sari. Mereka mengambil peluang memanfaatkan lahan dan tumbuhan yang sebelumnya belum dijamah. Pemanfaatan lahan jadi kebun sayur bukan tanpa sebab. Puluhan tahun, masyarakat adat Cirompang hanya punya daun singkong. Kalau mau sayuran lainnya, masyarakat harus membeli dari warga luar wilayah adat.
Dari sini, akhirnya kelompok tani perempuan memutuskan untuk mengelola lahan menjadi perkebunan sayur dan rempah. Bayam, kangkung, tomat, di antaranya. Setelah memiliki perkebunan sayur sendiri, masyarakat bisa memenuhi keperluan dapur. Hasil tanam juga malah menghasilkan pundi-pundi rupiah, karena sebagiannya bisa mereka jual ke desa tetangga.
Perempuan adat juga tidak lagi hanya mendapat tugas menyediakan makanan dan minuman saat rapat adat atau kegiatan warga berlangsung. Kini mereka mendapat ruang untuk memberi pendapat. “Kami bisa menyampaikan pendapat di rapat adat. Seneng banget, jadi punya semangat buat beraktivitas,” ujar Titin. Perempuan adat Kasepuhan Cirompang kemudian menjadi bagian dari aktor penting dalam pembangunan desa.
Perempuan dalam Perhutanan Sosial
Umur Kasepuhan Cirompang sebagai Hutan Adat program Perhutanan Sosial masih belia. Belum juga dua tahun. Namun semangat dan praktik inklusi perempuan dalam kelembagaan bisa jadi teladan.
Survei Katadata Insight Centre pada pertengahan 2020 menyebutkan Kasepuhan Cirompang sebagai percontohan inklusi perempuan dalam program Perhutanan Sosial. Hal ini terlihat dari rasio keanggotaan perempuan yang mencapai 42 persen.
Ketua Kelompok Pemuda Adat Kasepuhan Cirompang, Ajat Sudrajat menyampaikan dalam survei, tidak ada bedanya jenis kelamin dalam pelaksanaan program Perhutanan Sosial. “Perempuan bisa ikut dalam kegiatan ekonomi, perempuan juga bisa dilibatkan dalam penyelesaian konflik,” ungkapnya.
Ajat menyampaikan dalam interview daring dengan Katadata, peran perempuan dalam Hutan Adat Kasepuhan Cirompang sangat penting. Selain berperan menjaga alam, perempuan adat juga turut memajukan ekonomi kreatif. Contohnya, memberi ide-ide desain kaos khas Cirompang dan memanfaatkan kecombrang menjadi sambal honje.
Warga masyarakat adat Kasepuhan biasa menggunakan kecombrang dalam masakan, tapi jumlah kecombrang yang tersisa lebih banyak lagi. Akhirnya banyak yang busuk. “Kami berpikir bagaimana ini dimanfaatkan dan meningkatkan hasil ekonomi. Akhirnya bikin sambal combrang (honje). Ini inisiatf sendiri dan alhamdulillah berhasil,” ujar Titin.
Wilayah adat Kasepuhan Cirompang juga ramai dikunjungi sebagai destinasi wisata kultural. Warga membuat kaos khas yang bisa dijadikan oleh-oleh dari sana. Untuk desainnya, perempuan yang terlibat. “Mereka lebih nyeni. Anak-anak mudah tinggal yang memproduksi,”ujar Ajat.
Anggota tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial, Swary Utami Dewi, mengungkapkan dalam webinar Katadata (4/11), peran perempuan dalam Perhutanan Sosial sangatlah penting. Di beberapa wilayah, perempuan bahkan memiliki Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) sendiri. Sebut saja KUPS kuliner di Bangka Tengah dan KUPS jawet/rotan dari Belitung Timur.
Sayangnya, masih berdasarkan surveI KIC, dari 103 kelompok, baru 1 persen yang memiliki keseimbangan jumlah pengurus dan anggota laki-laki dan perempuan. Dan hanya 4,9 persen yang memiliki jumlah pengurus dan anggota perempuan lebih banyak. Selebihnya, 94,2 persen masih didominasi laki-laki.