Sulitnya Mencari Pendonor Plasma Konvalesen bagi Pasien Covid-19

ANTARA FOTO/Maulana Surya/wsj.
Petugas Palang Merah Indonesia (PMI) Solo mengusung poster ajakan donor konvalesen untuk membantu pasien COVID-19 saat kampanye di Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah, Kamis (7/1/2021). Dalam berbagai penelitian, terapi plasma konvaselen belum konsisten menunjukkan hasil yang bermanfaat bagi pasien Covid-19.
14/1/2021, 19.39 WIB

Terapi plasma konvalesen semakin populer di kalangan pasien Covid-19. Apalagi pemerintah menilai terapi tersebut mampu menyembuhkan pasien dari infeksi virus corona.

Adapun terapi plasma konvalesen merupakan terapi tambahan bagi pasien. Terapi tersebut menggunakan plasma darah yang mengandung antibodi dari penyintas Covid-19 yang telah dinyatakan sembuh selama 14 hari.

Meski begitu, tidak semua penyintas Covid-19 bisa menjadi pendonor plasma konvalesen. Koordinator Komunitas Blood for Life Edy Sukotjo mengatakan ada sejumlah kriteria yang ditetapkan untuk menjadi pendonor.

Kriteria utama yaitu memiliki surat keterangan sembuh dari fasilitas kesehatan. Selain itu, kadar titer antibodi calon pendonor harus 1/160.

Hal itu, menurut Edy, menjadi kendala terbesar pendonor plasma konvalesen. Pasalnya, kadar antibodi penyintas Covid-19 berbeda-beda.

“Tidak semua penyintas (survivor) bisa memenuhi titer antibodi tersebut," kata Edy kepada Katadata.co.id pada Kamis (14/1)

Lebih lanjut, Ketua Ikatan Alumni Covid 19 RS Lapangan Indrapura itu mengatakan titer antibodi yang bagus biasanya berasa dari pasien yang mendapatkan perawatan dalam jangka panjang. Sebab, semakin lama seseorang dirawat sebagai pasien Covid-19, semakin bagus antibodi dalam tubuhnya.

Di sisi lain, pendonor plasma konvaselen juga harus memenuhi beberapa kriteria lainnya, seperti laki-laki atau perempuan yang belum hamil, pendonor berusia 17-60 tahun, berat badan minimal 55 kilogram, tidak sedang sakit saat memberikan donor, serta tidak memiliki penyakit bawaan.

Untuk memastikan kriteria tersebut terpenuhi, Edy mengatakan tenaga keshatan akan melakukan pemeriksaan. Selain itu, titer antibodi penyintas Covid-19 akan di tes. 

Dengan kriteria tersebut, Edy mengatakan hanya ada 8-10 pendonor plasma konvaselen per hari. Sedangkan jumlah pasien yang meminta pendonor darah bisa mencapai 50-100 orang per hari. 

Minimnya pendonor plasma konvaselen tidak hanya disebabkan oleh kriteria tersebut. Namun, ketersediaan mesin untuk memproduksi plasma konvalesen di rumah sakit juga terbatas.

Menurut dia, kapasitas mesin hanya mampu menampu memproses 8-10 kantong plasma per hari.“Itu yang mungkin menyebabkan antrian pasien,” ujarnya.

(Penyumbang bahan: Ivan Jonathan)

 

Plasma Konvalesen Disebut Tak Efektif Obati Pasien Covid-19

Di sisi lain, penelitian terkait plasma konvalesen belum menunjukkan hasil yang konsisten terkait manfaat terhadap pasien Covid-19. Seperti laporan Reuters pada Senin (11/1) yang menyebut bahwa plasma konvalesen tidak berdampak signifikan bagi pasien dengan gejala sedang dan ringan. 

Hal yang sama juga disampaikan dalam hasil studi dari REMAP-CAP yang menyatakan terapi pegobatan itu tidak efektif. Data diperoleh dari 912 subjek penelitian.

“Meskipun mengecewakan bahwa semua pasien yang sakit kritis tampaknya tidak memperoleh manfaat apa pun, hal itu tetap sangat penting untuk diketahui,” ujar Anthony Gordon, penyelidik senior yang meneliti uji coba tersebut.

Meski begitu, Gordon mengatakan bahwa plasma konvalesen merupakan sumber yang berharga sebagai penelitian selanjutnya. Terutama dalam memetakan secara terperinci kelompok-kelompok yang dapat memperoleh manfaat maksimal dari terapi tersebut.

Sedangkan studi dari Cohrane menyimpulkan bahwa terapi plasma konvalesen belum bisa dipastikan efektif bagi pengobatan pasien Covid-19. Selain itu, ada efek samping yang harus dipastikan dalam penelitian selanjutnya. Adapun beberapa efek samping itu terdiri dari kematian, reaksi alergi, dan komplikasi pernapasan.

Vaksinolog, dr. Dirga Sakti Rambe, mengatakan penelitian terkait plasma konvalselen memang belum konsisten. Ada penelitian yang menunjukkan hasilnya bermanfaat bagi pasien. Namun, ada penelitian yang menunjukkan hasilnya tidak bermanfaat.

"Meksi begitu, lebih banyak yang hasilnya tidak bermanfaat," kata Dirga dalam Obrolan Kawal: Vaksin dan Pengobatan Covid-19 yang disiarkan akun Instagram @KawalCOVID19 pada Selasa (12/1).

Selain itu, dia mengatakan bahwa tidak semua pasien Covid-19 bisa mendapatkan terapi pengobatan. Hanya pasien dengan gejala berat yang diprioritaskan mendapatkan plasma konvaselen. 

"Dokter mempertimbangkan terapi plasma konvaselen bagi pasien gejala berat yang sudah pakai ventilator di ICU. Namun dengan syarat-syarat yang ketat agar pengobatannya efektif," ujar dia. 

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Pelayanan Jajang Edi Priyatno mengatakan metode plasma konvaselen merupakan cara yang efisian dan efektif menyembuhkan pasien Covid-19. Bahkan dia menyebut terapi itu merupakan vaksin pasif. 

“Saya tekankan untuk menggunakan plasma konvalesen, karena itu vaksinasi pasif, gold terapi pada kondisi Covid-19,” kata Jajang dalam siaran pers pada 11 Desember 2020.

Penggunaan plasma darah dalam pengobatan bukanlah hal baru. Penggunaan plasma dari penderita yang sembuh sebagai terapi telah dilakukan untuk pengobatan pada wabah penyakit flu babi pada tahun 2009, Ebola, SARS, dan MERS.

Di sisi lain, Juru Bicara Satgas Penanganana Covid-19 Prof. Wiku Adisasmito mengatakan bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati. Oleh karena itu, dia mendorong masyarakat untuk selalu mematuhi protokol kesehatan. 

Adapun protokol kesehatan itu terdiri dari 3M, yaitu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun. Hal tersebut ampuh memutus mata ranti virus corona. 

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan