Pandemi Covid-19 berlangsung nyaris satu tahun. Sejumlah perubahan perilaku terjadi di masyakarakat, termasuk beraktivitas. Belum lagi informasi tentang penambahan kasus positif hingga kabar duka yang tak henti-hentinya. Semua itu jelas berdampak buruk bagi fisik dan jiwa semua orang.
Tak terkecuali, remaja yang rentan menghadapi pandemi. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menyebutkan bahwa anak muda berumur 18 – 24 tahun masih termasuk ke dalam tahap perkembangan. Apa yang mereka alami memberi konsekuensi jangka panjang bagi masa depan mereka. Sehingga, persoalan pandemi pun tetap berdampak bagi mereka.
Menurut Pemerhati Kesehatan Jiwa Anak UNICEF Ali Aulia Ramly, adanya pembatasan sosial memunculkan rasa takut yang berlebihan pada anak dan remaja karena banyaknya informasi yang diterima terkait pandemi. Tak hanya itu, rasa bosan juga menjadi salah satu faktor.
“Tentu saja kebosanan terjadi ketika mereka harus berada di rumah dengan waktu yang sangat lama. Tidak bisa bertemu teman-temannya ini merupakan sejumlah dampak yang wajar dan banyak terjadi pada anak,” kata Aulia saat berdialog di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, Senin (20/7/20).
Namun, tak sebatas rasa bosan, ternyata persoalan yang dihadapi anak muda lebih kompleks. Menurut CDC, adanya pembatasan secara fisik dan sosial membuat pola hidupnya berubah. Hal ini membuat mereka harus mengubah rencana hidupnya, mulai dari kegiatan di kampus hingga mencari pekerjaan.
Bagi yang masih berkuliah, perlu banyak adaptasi untuk tetap memiliki performa yang baik dalam perkuliahan. Pandemi juga berdampak bagi yang sudah lulus dan sedang mencari pekerjaan karena mengalami kesulitan dalam mendapat pekerjaan.
Selain itu, adanya pembatasan sosial membuat anak muda melewatkan peristiwa penting dalam kehidupannya. Banyaknya momentum penting seperti ulang tahun, magang, kehidupan di kampus, kelulusan, liburan, hingga pengalaman bekerja pertama kali pun terlewatkan. Persoalan yang tak kalah pelik adalah persoalan keuangan pribadi seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemotongan gaji.
CDC melihat ketidakamanan dalam konteks ekonomi sering kali dikaitkan dengan prestasi akademik dan hasil kesehatan yang buruk. Tak hanya itu, CDC juga melihat ini berpengaruh pada kemampuan untuk secara konsisten mengakses aspek kesejahteraan, bahkan meningkatkan risiko paparan kekerasan.
Oleh karena itu, peran orangtua sangat penting untuk membantu anak muda menghilangkan rasa takut dan cemas. CDC memberikan beragam langkah untuk memulai dialog dengan anak yang sudah memasuki umur awal 20 tahun. Pertama, orangtua perlu menyadari dan mengatasi ketakutan, stres, serta perubahan perilaku. Adanya rasa sedih dan cemas berlebih dapat berdampak pada kebiasaan makan dan tidur yang tidak sehat, dan kesulitan berkonsentrasi .
Cara mengatasinya adalah membuat anak menyadari bahwa mereka stres, lalu mengetahui di mana dan bagaimana untuk menanganinya. Tak hanya itu, rehat dari berita mengenai pandemi, menjaga diri, meluangkan waktu untuk melepas lelah, dan tetap terhubung dengan saudara atau teman dekat.
Selain menjaga diri sendiri, memastikan orang tersayang baik-baik saja juga penting agar anak muda dapat meredakan stres. Adapun caranya adalah dengan memberikan dukungan sosial, menghindari penyebaran virus dengan menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) menjadi upaya penting yang dapat dilakukan.
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan