Pemerintah Waspadai Lonjakan Covid-19 Menaikkan Angka Stunting

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.
Ilustrasi. Pemerintah mencatat, angka stunting di Indonesia turun dalam beberapa tahun terakhir.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
23/8/2021, 11.52 WIB

Pemerintah mewaspadai lonjakan kasus Covid-19 akibat varian Delta dapat menahan proses penurunan prevalensi stunting. Hal ini karena lonjakan kasus yang diikuti pengetatan mobilitas melalui PPKM darurat dan PPKM level 4 mendorong naiknya angka kemiskinan.

"Kami perlu mewaspadai peningkatan kasus covid-19 pada Juli. Hal ini juga menjadi warning bagi pemerintah terhadap meningkatnya kemiskinan yang merupakan faktor penting penyebab terjadinya stunting pada anak balita," kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti yang membacakan pidato Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Koordinasi Nasional penurunan stunting, Senin (23/8).

Astera menyebut, rumah tangga yang kehilangan pendapatan karena pandemi cenderung tidak mampu memenuhi asupan gizi untuk anaknya. Faktor gizi buruk yang kemudian mendorong anak berpotensi mengalami stunting. Ini belum termasuk anak-anak yang kehilangan orang tuanya akibat Covid-19.

Tantangan lainnya, menurut dia, adalah berbagai program pencegahan yang juga terhambat akibat pembatasan mobilitas. Layanan seperti posyandu, kelas ibu hamil, bina keluarga balita terpaksa dihentikan.

"Pandemi juga menambah tantangan pemerintah dalam upaya menurunakn prevalensi stunting menjadi 14% pada tahun 2024 karena Covid-19 menghambat kegiatan-kegiatan pencegahan stunting," ujarnya.

Padahal, menurut dia, kondisi stunting di Indonesia turun dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2019, prevalensi stunting 27,7%. Nilainya turun dari 37,2% pada tahun 2013. Tahun depan, pemerintah menargetkan penurunan drastis hingga 18,4% dan mencapai target 14% pada tahun 2024.

Kendati demikian, angka stunting di Indonesia masih cukup tinggi jika dibandingkan standar yang ditetapkan Organisasi Kesehtan Dunia (WHO) 20%. Selain itu, di Asia tenggara, Indonesia berada di peringkat kedua dengan angka stunting tertinggi, hanya di bawah Kamboja.

Sri Mulyani menyebut, pemerintah pusat masih perlu meningkatkan koordinasi dan daerah untuk mencapai target penurnan stunting. Peningkatan kualitas akses pangan serta penyaluran berbagai bantuan sosial dianggap ikut berkontribusi mengentas masalah kesehatan ini.

Dalam APBN 2021, pemerintah mengalokasikan Rp 32,98 triliun belanja Kementerian dan lembaga (K/L) untuk pencegahan stunting, nilainya turun dari anggaran Rp 29,8 triliun tahun lalu. Namun, pemerintah menaikkan belanja penanganan stunting melalui transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) dari tahun lalu Rp 4,6 triliun menjadi Rp 11,45 triliun dalam APBN tahun ini.

Anggaran ke daerah mencakup Rp 7,35 triliun melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik, ini mencakup penambahan indikator lingkungan hidup. Selain itu, anggaran Rp 4,1 triliun melalui dana alokasi khusus (DAK) nonfisik, yang termasuk di dalamnya peningkatan ketahanan pangan serta bantuan operasional penyelenggaran pendidikan anak usia dini (PAUD).

Sementara itu, Sri Mulyani dalam konferensi persnya awal pekan lalu menyebut, pemerintah menyediakan anggaran Rp 255,3 triliun untuk penanganan kesehatan tahun depan. Dalam RAPBN 2022 tersebut, anggaran kesehatan salah satunya akan difokuskan pada penanganan stunting di 514 kota, kendati demikian belum dibocorkan berapa besaran yang akan dipakai untuk penanganan stunting.

Presiden Jokowi dalam pidato nota keuangan dan RAPBN 2022 pekan lalu juga turut menyinggung masalah stunting. Dia menyebut anggaran kesehatan yang salah satunya difokuskan pada penangana stunting, nilainya mencapai 9,4% dari belanja negara tahun depan.

"Percepatan penurunan stunting dilakukan melalui perluasan cakupan seluruh kabupaten dan kota di Indonesia, dengan penguatan sinergi berbagai institusi," kata Jokowi dalam sambutannya, Senin (16/8).

Reporter: Abdul Azis Said