Pemerintah Tak Akan Subsidi untuk Turunkan Harga Tes PCR

ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/wsj.
Petugas kesehatan melakukan tes usap PCR COVID-19 kepada warga Perumahan Bumi Anggrek, Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (7/6/2021). Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi melakukan tes usap PCR dan antigen kepada 135 warga perumahan tersebut menyusul 12 orang penghuninya terkonfirmasi positif COVID-19.
26/10/2021, 18.37 WIB

Pemerintah berencana menurunkan harga tes Covid-19 Polymerase Chain Reaction (PCR) menjadi Rp 300 ribu. Meski demikian, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan tidak ada subsidi yang diberikan dalam penurunan tarif tes tersebut.

Kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat memang terus menjadi polemik beberapa hari belakangan. Buntutnya, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menurunkan tarifnya menjadi  Rp 300 ribu.

Sebagai informasi, saat ini tarif tertinggi tes PCR di Pulau Jawa dan Bali sebesar Rp 495 ribu, sementara luar Jawa dan Bali sebesar Rp 525 ribu. "Pemerintah tidak rencanakan ada subsidi, apalagi harganya sudah diturunkan," kata Budi dalam konferensi pers virtual, Selasa (26/10).

Budi mengatakan harga PCR yang diusulkan Presiden Joko Widodo sebesar Rp 300 ribu sudah murah. Bahkan, tarif tersebut sudah 10% lebih murah dibandingkan harga tes di bandara seluruh dunia.

Sedangkan harga tes PCR termurah ada di India, yaitu sekitar Rp 160 ribu. Budi mengatakan, tarif di Negeri Bollywood bisa sangat murah lantaran negara tersebut telah memproduksi komponen tes di dalam negeri. "Dan economy cost tercapai karena jumlah penduduk hampir 2 miliar," ujar dia.

Selain penurunan harga, Jokowi juga meminta durasi pemberlakuan hasil tes PCR bagi penumpang pesawat ditambah dari 2x24 jam menjadi 3x24 jam. Dengan demikian, masyarakat dapat mengambil tes PCR pada H-3 sebelum keberangkatan.

"Arahan Presiden agar harga PCR dapat diturunkan menjadi Rp 300 ribu," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers virtual, Senin (25/10).

Luhut mengatakan, pemerintah mendapatkan banyak masukan dan kritik terkait kebijakan PCR. Apalagi pengetatan persyaratan perjalanan dilakukan di tengah penurunan level PPKM dan melandainya kasus Covid-19.

Ia menjelaskan, kebijakan PCR berlaku lantaran adanya risiko penularan corona yang semakin meningkat. Apalagi mobilitas penduduk meningkat pesat dalam beberapa minggu terakhir.

Pemerintah juga berkaca dari pelonggaran aktivitas di sejumlah negara, seperti Inggris, Belanda, Singapura, dan beberapa negara Eropa lain. Di negara tersebut, relaksasi aktivitas dan pelonggaran protokol kesehatan menyebabkan kenaikan kasus corona, meskipun capaian vaksinasi negara tersebut lebih tinggi dari Indonesia.

"Kita sudah cukup pengalaman menghadapi ini. Jangan kita emosional menanggapi apa yang kami lakukan ini," ujar Luhut.

Reporter: Rizky Alika