Aturan Pajak dalam UU HKPD Berpotensi Beratkan Masyarakat dan Usaha

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11/2019). Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak dari Januari hingga Oktober 2019 hanya tumbuh 0,23 persen menjadi Rp1.018,47 triliun atau 64,56 persen dari target APBN 2019 sebesar Rp1.577 triliun dan salah satu penyebab melambatnya penerimaan pajak tersebut, karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS rata-rata sejak awal tahun ada di Rp14.162, dengan asumsi di APBN 2019 sebesar Rp15.000.
13/12/2021, 16.02 WIB

Pemerintah dan DPR telah mengesahkan Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD). Namun, Komite Pemantauan Pelaksaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyoroti sejumlah potensi dampak buruk dari aturan tersebut.

Mayoritas aturan yang menjadi sorotan adalah beleid terkait perpajakan seperti kenaikan persentase Pajak Bumi dan Bangunan untuk Pedesaan dan Perkotaan atau PBB-P2.

"KPPOD menemukan adanya potensi dampak ekonomi negatif yang bisa ditimbulkan oleh UU ini," kata Direktur Eksekutif KPPOD Arman Suparman dalam konferensi pers daring, Senin (13/12).

Arman mengatakan, kenaikan persentase PBB-P2 dari 0,3% menjadi 0,5% bisa memberatkan dunia usaha dan masyarakat dalam membeli properti. KPPOD berharap, pemerintah dapat mengklasifikasi tanah dan bangunan untuk lokasi usaha dan non usaha.

Kemudian, penurunan tarif pajak kendaraan bermotor diperkirakan bisa meningkatkan pendapatan di kabupaten/kota. Namun, kebijakan ini dikhawatirkan berdampak negatif pada lingkungan dan bertambahnya kemacetan. "Karena bisa memicu peningkatan pembelian kendaraan bermotor," ujar dia.

Hal lain yang menjadi sorotan adalah Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk Tenaga Listrik. Pengaturan PBJT ini telah sesuai dengan beberapa poin putusan Mahkamah Konstitusi namun masih memiliki catatan.

Ini lantaran penarikan pajak atas penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri mengindikasikan adanya keterbatasan pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dan penyediaan tenaga listrik mandiri.

“Perlu dipertimbangkan agar tetap memperhatikan keseimbangan dan melihat kontribusi pelaku usaha yang memiliki tenaga listrik yang dihasilkan sendiri terhadap perekonomian daerah," katanya.

Selanjutnya, Pajak Air Permukaan (PAP) khusus usaha di sektor kehutanan atau kegiatan bukan ambil air. Pungutan pajak itu dinilai bisa berdampak ekonomi negatif lantaran dihitung sebagai biaya produksi oleh pengusaha. Selain itu pungutan pajak tersebut bisa berdampak pada harga barang yang diproduksi industri pada sektor kehutanan atau kegiatan bukan ambil air.

Selanjutnya, penurunan tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) dikhawatirkan bisa meningkatkan eksplorasi mineral bukan logam dan batuan. Kebijakan tersebut akan memberikan konsekuensi negatif pada lingkungan dan sosial di daerah.

Terakhir, kebijakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan tarif maksimal 5% diperkirakan dapat memberatkan dunia usaha, terutama dalam jual beli properti.

Namun Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan, kenaikan tarif PBB-P2 diikuti dengan pemberian Nilai Jual Objek Pajak 20%-100% akan memberikan fleksibilitas bagi pemerintah daerah untuk menerapkan PBB sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh, rumah mewah bisa di maksimalkan NJOP-nya.

Fleksibilitas tersebut dinilai memberikan ruang bagi Pemda untuk dapat mengelola fiskalnya sesuai kebutuhan. "Sedangkan yang ingin diberikan insentif bisa hanya terapkan NJOP 20% sehingga lebih rendah dari tarif sebelumnya," ujar dia saat dihubungi, Senin (13/12).

Selain itu penurunan pajak kendaraan bermotor diikuti dengan penetapan opsen, yaitu tambahan pengenaan yang akibatnya beban wajib pajak akan sama dengan tarif sebelumnya. Tak hanya itu, pemerintah juga telah memberikan insentif untuk kendaraan listrik.

"Jadi justru yang didorong adalah penggunaan kendaraan yang tidak berpolusi atau polusinya minimal," ujar Prima.

Reporter: Rizky Alika