Pakar Ungkit Fenomena Tongkat Perkins Terkait Polemik Terawan

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX, Kamis (10/12/2020).
8/4/2022, 14.52 WIB

Testimoni dari mulut ke mulut juga membuat metode ini ‘booming’ kala itu. 

Akan tetapi, Ikatan Dokter Connecticut di Amerika Serikat (AS) mengutuk metoda ini dan menyebutnya "perdukunan delusi". Mirip dengan Terawan, Perkins juga dikeluarkan dari keanggotaan.

Namun Perkins berhasil meyakinkan tiga fakultas kedokteran di AS, hingga di Kopenhagen, Denmark, dua belas ahli bedah di Royal Frederiks Hospital juga mulai mendukung metode ini.

"Perkins juga membanggakan 5 ribu kasus yang telah berhasil disembuhkan oleh tongkatnya. Bahkan, metoda penyembuhan tersebut disertifikasi oleh delapan profesor, empat puluh dokter, dan tiga puluh pendeta. Bahkan presiden Washington pun tergiur untuk membelinya," terang Bambang.

Baru pada 1799, Dr. John Haygarth melakukan uji coba terhadap temuan Perkins ini. Ia merawat lima pasien rematik dengan tongkat kayu yang dibuat menyerupai logam. Hasilnya, empat di antara mereka mengaku rasa sakitnya berkurang. Keesokan harinya, terapi serupa dilakukan dengan tongkat logam, dan menghasilkan kesimpulan yang sama.

Dr. Haygarth melaporkan temuannya dalam publikasi berjudul “On the Imagination as a Cause & as a Cure of the Disorders of the Body”.

"Kisah di atas memperlihatkan betapa besar pengaruh suatu efek plasebo, ketika pasien meyakini bahwa itu bisa menyembuhkan. Tak heran, jika ‘batu Ponari’ pun pernah berhasil menyembuhkan berbagai penyakit pada ratusan orang," ungkap Bambang.

Seraya menambahkan, "Perlu dipahami, dunia kedokteran tak memberi tempat untuk testimoni karena tak bisa diuji. Sekalipun diucapkan oleh seorang menteri atau bahkan presiden pun, testimoni tak akan pernah memiliki nilai setara bukti klinis."

Sebelumnya, IDI menyebut dugaan pelanggaran etik kedokteran yang dilakukan Terawan meliputi:
1. Mengiklankan diri secara berlebihan dengan klaim tindakan untuk pengobatan (kuratif) dan pencegahan (preventif);
2. Tidak kooperatif mendatangi undangan Divisi Pembinaan MKEK PB IDI, termasuk undangan menghadiri sidang Kemahkamahan;
3. Dugaan menarik bayaran dalam jumlah besar pada tindakan yang belum ada Evidence Based Medicine (EBM);
4. Menjanjikan kesembuhan kepada pasien setelah menjalani tindakan cuci otak.

Terkait metode cuci otak ini, melalui konferensi pers pada 2018, Terawan menjelaskan terapinya telah teruji secara ilmiah, karena menjadi disertasi saat ia meraih gelar doktor dari Universitas Hasanuddin.

"Kalau itu diuji secara ilmiah sudah dilakukan melalui disertasi, dan disertasi sebuah universitas terpandang, menurut saya harus dihargai," kata Terawan di RSPAD, Rabu, 4 April 2018.

Menurut hipotesisnya, memasukkan heparin dalam pembuluh otak dapat meningkatkan aliran darah hingga 20% dalam jangka waktu 73 hari.

Halaman:
Reporter: Aryo Widhy Wicaksono