Ketua Dewan Perwakilan Daerah, (DPD), La Nyalla Mahmud Mattalitti, memperoleh dukungan untuk maju mengikuti bursa calon presiden (capres) pada penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. La Nyalla mendapatkan dukungan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) serta organisasi Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).
Dukungan PPP diungkapkan Wakil Ketua Dewan Pakar PPP, Habil Marati. Menurutnya dukungan tersebut muncul lantaran penilaian terhadap kinerja La Nyalla sebagai Ketua DPD yang dianggap teguh memperjuangkan konstitusi.
“Karena itulah kami kader PPP mendorong Pak La Nyalla untuk menjadi Presiden di 2024. Kita membutuhkan pemimpin yang independen, yang berani, tegas dan mengerti kondisi rakyat sekarang ini,” ujarnya sebagaimana dikutip dari akun media sosial resmi DPD RI pada Senin (30/5).
Namun, dukungan ini belum menjadi sikap dan keputusan partai. Sebab PPP yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), masih membahas nama capres bersama-sama dengan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Golkar sebagai rekan koalisi.
Sementara dukungan dari KAHMI, datang dari Pare-Pare. Ketua Harian KAHMI Pare-Pare, Muhammad Salim Sultan, menyampaikan dukungan tersebut karena menilai kebutuhan bangsa akan sosok pemimpin yang kuat di tengah berbagai krisis yang melanda.
“Kami melihat bapak seorang yang punya keberanian, ketegasan dan sangat berpihak pada rakyat,” katanya saat bertemu dengan La Nyalla.
Akan tetapi, dia melihat bahwa dukungan tersebut terjegal oleh aturan presidential threshold sebagai ambang batas mencalonkan presiden. Aturan ini menegaskan partai yang mengajukan capres mesti memenuhi 20% kursi di DPR. Oleh karena itu, Salim mendukung DPD yang saat ini tengah mengajukan judicial review Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), agar menghapuskan aturan presidential threshold.
“Dalam pandangan kami, presidential threshold 20% merupakan tirani. Parpol sangat berkuasa,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan La Nyalla. Dia menilai peraturan itu melanggar konstitusi, sehingga mesti dibatalkan MK. Menurutnya, Pasal 222 UU Nomor 7 tidak merepresentasikan Pasal 6A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur soal pemilihan presiden.
“Kita masih menunggu MK untuk menghapus pasal yang tidak derivatif dari konstitusi tersebut. Akan jadi pertanyaan besar jika MK tak mau menghapusnya. Yang menggugat saat ini lembaga DPD RI loh. Tidak main-main,” tuturnya.
Selain tak sesuai dengan konstitusi, La Nyalla menilai bahwa aturan presidential threshold hanya akan membatasi calon-calon yang potensial untuk memimpin negeri. Dia berpendapat, seharusnya seluruh partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon presiden.
“Akan terbuka luas juga bagi putra-putri terbaik untuk mencalonkan presiden,” kata La Nyalla.
Terkait dengan presidential treshold, simak dulu berapa persentase perolehan kursi partai politik pada Pemilu 2019:
Sebelumnya, DPD yang diwakili dua anggotanya, yaitu Bustami Zainudin dan Fachrul Razi telah mengajukan permohonan judicial review terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 kepada MK. Dalam permohonannya, Bustami dan Fachrul menyatakan bahwa ketentuan presidential threshold yang ditafsirkan sebagai open legal policy melanggar syarat open legal policy sebagaimana putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 Juncto Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 Juncto Nomor 010/PUU-III/2005.
Dalam permohonan kepada MK, keduanya mendalilkan beberapa pokok permohonan, di antaranya:
- Ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.
- Bahwa dalam menafsirkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak akan terlepas dari penafsiran MK pada Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, yang menggunakan penafsiran sistematis dalam membaca Pasal 6A UUD 1945, sehingga aturan presidential threshold disebut sebagai aturan yang bersifat open legal policy.
- Bahwa dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan pemberlakuan presidential threshold merupakan pendelegasian dari ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Menurutnya, secara konseptual penafsiran tersebut tidak tepat, karena ketentuan Pasal 6A ayat (5) a quo berkenaan “tata cara”, sedangkan aturan presidential treshold merupakan salah satu syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.
- Bahwa dengan menggunakan penafsiran sistematis-gramatikal, seharusnya “syarat” pencalonan presiden dan wakil presiden merujuk pada Pasal 6 UUD 1945, khususnya Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi: “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”
- Selain itu, menggolongkan presidential threshold sebagai open legal policy tidaklah tepat. Ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah memberikan pembatasan terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, sebagai berikut: Diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta; pemilihan umum; dan diusulkan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.