Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang dilayangkan pemohon Busyro Muqoddas, Trisno Raharjo, Yati Dahlia, Dwi Putri Cahyawati, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), serta Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Pemohon menilai UU IKN bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, karena tidak mengedepankan meaningful participation atau partisipasi publik. Selain itu, menciptakan konflik teritorial terkait penguasaan dan kepemilikan wilayah adat.
Menurut Hakim Konstitusi, pengajuan permohonan uji formil undang-undang terhadap UUD 1945 seharusnya diajukan dalam waktu 45 hari sejak udnang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara RI dan tambahan Lembaran Negara RI.
Hal ini ditegaskan pada Pasal 9 Ayat (2) peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang dan Putusan MK Nomor 14/PUU-XX/2022.
Maka jika mengacu pada dokumen Lembaran Negara, UU IKN resmi menjadi undang-undang pada 15 Februari 2022 sehingga batas waktu pengajuan permohonan adalah pada 31 Maret 2022. Sementara permohonan pemohon masuk pada 1 April 2022. "Maka dengan demikian permohonan para pemohon diajukan pada hari ke 46 sejak UU Nomor 3/2022 diundangkan," jelas Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, di Gedung MK, Selasa (31/5).
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut pengajuan permohonan telah melewati tenggang waktu 45 hari sejak UU IKN diundangkan. Dengan demikian permohonan para pemohon tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan di MK.
Akibatnya, MK tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan pengajuan formil para pemohon lainnya.
"Mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," ucap Hakim Aswanto saat membacakan amar putusan.
Sebelumnya, melalui kuasa hukumnya, perwakilan AMAN, Rukka Simbolinggi menyampaikan bahwa pembentukan UU IKN tidak menerapkan meaningful participation. Artinya tidak menyertakan partisipasi publik dalam pembentukan sebuah peraturan atau kebijakan.
Akibatnya, UU IKN menciptakan terdapat konflik teritorial terkait penguasaan dan kepemilikan wilayah adat dengan berbagai investasi yang sudah ada, karena tidak memperhatikan keberadaan masyarakat adat di wilayah yang direncanakan akan menjadi IKN.
Sementara menyangkut kondisi ekonomi di lokasi baru ibu kota nanti, persentase penduduk miskin di kedua kabupaten calon IKN Nusantara tersebut berada di atas rerata angka kemiskinan Provinsi Kaltim.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Kalimantan Timur (Kaltim) sebanyak 241,77 ribu jiwa (6,54%) dari total populasi pada Maret 2021. Angka tersebut meningkat dari posisi Maret 2020 sebanyak 230,27 jiwa (6,1%).
Jumlah penduduk miskin Kabupaten Penajam Paser Utara sebanyak 12,13 ribu jiwa (7,61%) pada Maret 2021. Sementara penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara ada 62,36 ribu jiwa (7,99%).