Setelah menerima beberapa usulan berbeda mengenai durasi masa kampanye, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya sepakat masa kampanye pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 nanti adalah sebanyak 75 hari. Masa kampanye akan dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.
Durasi ini berbeda dengan kesepakatan KPU dan pemerintah yang sama-sama menilai masa kampanye ideal berlangsung 90 hari. Jumlah ini lebih sedikit dari usulan awal selama 120 hari.
Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, mengatakan setelah masa kampanye selesai pada 10 Februari 2022, akan ada masa tenang selama tiga hari dari 11 Februari hingga 13 Februari 2024 sebelum pelaksanaan pemungutan suara pada 14 Februari. Setelah itu, KPU akan melanjutkan dengan proses penghitungan serta rekapitulasi suara berjenjang, mulai 15 Februari hingga 20 Maret 2024.
“Untuk penetapan hasil Pemilu itu bagian akhir setelah rekapitulasi nasional, dan ada kesempatan bagi para pihak peserta pemilu yang tidak puas dengan hasil Pemilu untuk melakukan sengketa ke MK (Mahkamah Konstitusi),” kata Hasyim usai rapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/6).
Masa kampanye ditetapkan KPU selama 75 hari, sebab berkaitan dengan proses distribusi logistik, terutama surat suara dan formulir daftar pasangan calon peserta Pemilu. Selain itu, pertimbangan lainnya adalah durasi waktu untuk menyelesaikan proses Pemilu, terutama setelah adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT).
“Kemudian validasi surat suara penanganan logistik Pemilu di luar negeri dan distribusi serta pengelolaan logistik,” ucapnya.
Selain masa kampanye, KPU juga telah merancang simulasi untuk pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) jika terjadi dua putaran. Kondisi ini berlaku, jika ada lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden tetapi tidak ada yang mendapatkan minimal suara 50% ditambah satu.
Untuk putaran kedua, tahapannya akan dimulai pada 12 Juni 2024. Kemudian, pemutakhiran data pemilih dan pengurusan daftar pemilih dilakukan pada 22 Maret sampai 25 April 2024. Dalam simulasi putaran kedua, masa kampanye direncakan pada tanggal 2 sampai 22 Juni 2024 dengan masa tenang selama tiga hari, yaitu 23 Juni sampai 25 Juni 2024.
“Kemudian pemungutan suaranya adalah 26 Juni 2024,” tutur Hasyim.
Selanjutnya, penghitungan suara di masing-masing Tempat Pemungutan Suara (TPS) akan dilakukan hingga 27 Juni, diikuti rekapitulasi berjenjang dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) hingga KPU pusat mulai 27 Juni hingga 20 Juli 2024.
“Kemudian diikuti dengan penetapan hasil Pemilu dan diakhiri dengan pengucapan sumpah janji Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 20 Oktober 2024,” ujarnya.
Hasyim menuturkan bahwa salah satu hal penting yang mesti diperhatikan dalam penyusunan simulasi pelaksanaan Pemilu adalah ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur bahwa presiden dan wakil presiden terpilih paling lambat harus ditetapkan 14 hari sebelum habisnya masa jabatan presiden periode terdahulu.
“Baik itu dalam situasi Pilpres hanya satu putaran maupun Pilpres dilakukan dua putaran,” jelas Hasyim.
Masa kampanye juga merupakan momen ketika polarisasi politik kian hangat. Menurut survei Litbang Kompas, tentang situasi politik nasional, mayoritas atau 36,3% responden menilai provokasi buzzer/influencer berpotensi menciptakan polarisasi politik di masyarakat kian memanas.
Sebanyak 21,6% responden lain menilai polarisasi politik bisa meruncing karena penyebaran informasi yang tidak lengkap/hoaks, 13,4% karena kurangnya peran tokoh bangsa dalam meredakan perselisihan, dan 5,8% karena media sosial.
Sebelumnya, KPU dan DPR menyepakati lima poin terkait rencana pelaksanaan Pemilu 2024. Pertama, terkait durasi masa kampanye yang telah disepakati selama 75 hari. Kedua, besaran anggaran untuk Pemilu 2024 mencapai Rp 76,6 triliun.
Selanjutnya, mengenai penyelesaian sengketa Pemilu 2024, perlu ada pertemuan dengan Mahkamah Agung (MA) dan Mahakamah Konstitusi (MK) untuk membahas secara rinci penyelesaian sengketa Pemilu yang menurut undang-undang adalah maksimal 21 hari.
Kemudian untuk pemutakhiran data pemilih. Penyelenggara Pemilu bersama pemerintah mesti memastikan kemudahan bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. KPU juga diharapkan menggelar sosialisasi agar kesadaran masyarakat untuk melaporkan perubahan data kependudukan dan kesalahan data pemilih meningkat.
Terakhir, KPU diminta memperhatikan proses rekrutmen petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Hal ini mengevaluasi banyaknya kasus petugas PPS dan KPPS yang meninggal dunia pada Pemilu 2019.