Jokowi Sentil Empat Kementerian Soal Sengketa Lahan

ANTARA FOTO/BiroPers SekretariatPresiden/JJ/YU
Presiden Joko Widodo (tengah) mengenakan topi adat Wakatobi didampingi Bupati Wakatobi Haliana (kiri) saat tiba di Bandar Udara Matohara di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (9/6/2022).
9/6/2022, 16.51 WIB

Presiden Joko Widodo menghadiri Pertemuan Puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit) di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, hari ini (9/6). Dalam acara ini, Jokowi sempat menyentil empat kementerian sekaligus soal masalah lahan.

Awalnya Jokowi menyentil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) lantaran masih banyak masalah sengketa lahan terutama di wilayah kepulauan. Secara khusus, Jokowi menyoroti persoalan ego sektoral dalam menangani masalah Sertifikat Hak Milik (SHM) suku Bajo, yang tinggal di atas permukaan air.

KKP menyatakan masyarakat suku Bajo tidak bisa diberikan SHM sebab laut adalah hak dari KKP. Sedangkan LHK menyatakan terumbu karang di bawah laut tersebut adalah kawan hutan lindung dan bagian dari hak kementerian tersebut.

“Kalau diteruskan, tidak akan rampung persoalan negara ini. Persoalannya kelihatan, solusi kelihatan, tapi tidak bisa dilakukan hanya gara-gara ego sektoral. Itulah persoalan kita,” kata Jokowi dalam tayangan di kanal Sekretariat Kabinet, Kamis (9/6). 

Pembangunan fasilitas umum seperti jalan tol juga kerap tertunda lantaran pembebasan lahan. Kurangnya komunikasi antara Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selaku pelaksana pembangunan disebut Jokowi sebagai penyebab keadaan tersebut. 

“Saya ingatkan lagi, saya tidak bisa mentolerir terjadinya kerugian negara dan kerugian masyarakat yang disebabkan ego sektoral dan ego lembaga.  Setop, cukup. Persoalan dimulai dari sini,” ujar Jokowi.

Permasalahan sengketa lahan ini dinilai berbahaya, mulai dari segi sosial masyarakat hingga ekonomi negara. Kepala negara menyebut ada kecenderungan gesekan sosial antar masyarakat yang berebut lahan tanpa sertifikat.

Kemudian, perusahaan dan rakyat di sekitar juga bisa bersitegang lantaran hak penggunaan lahan. Padahal, sertifikat bisa menggenjot ekonomi negara sebagai penjamin pinjaman ke institusi keuangan. 

Adapun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, 164 orang menjadi korban kriminalisasi dan kekerasan dari konflik agraria sepanjang 2020. Dari jumlah itu, 11 orang yang merupakan laki-laki dinyatakan meninggal dunia.

Jokowi menjabarkan keadaan ini sudah dimulai sejak 2015. Saat itu hanya 46 juta dari seluruh 126 juta masyarakat Indonesia yang memiliki sertifikat tanah. Keadaan ini terjadi karena BPN hanya mengeluarkan sebanyak 500 ribu sertifikat tanah per tahunnya. 

“Kalau kurangnya 80 juta dan setahun hanya keluarkan 500 ribu sertifikat, artinya penduduk yang mempunyai lahan itu harus menunggu 160 tahun,” 

Ia lalu memerintahkan BPN untuk meningkatkan jumlah penerbitan sertifikat tanahnya dan berhasil mencapai angka sembilan juta per tahun. Hingga kini,  sudah ada 80,6 juta masyarakat yang memegang bukti kepemilikan atas tanahnya.

Reporter: Amelia Yesidora