Transformasi digital telah mendorong perubahan besar di berbagai bidang, termasuk perdangangan dan keuangan. Lahirnya beragam platform lokapasar (marketplace) dan pembayaran memungkinkan pembelanjaan cukup dijalankan dengan hanya menggunakan gawai. Namun, kemudahan yang ditawarkan oleh sistem belanja daring (online) bukan berarti tanpa risiko.
Sejumlah ancaman mengintai konsumen, mulai dari penipuan, barang palsu, hingga pencurian data pribadi. Ditambah lagi maraknya kasus kebocoran data pengguna platform marketplace. Merujuk kondisi ini, maka perlindungan terhadap konsumen menjadi semakin krusial pada era digital.
Peneliti Center of Indonesian Policy Studies (CIPS) Noor Halimah Anjani mengatakan, langkah nyata yang dapat dilakukan untuk menjaga kepercayaan konsumen adalah melibatkan berbagai pihak dalam memastikan aspek perlindungan data pribadi.
“Pemerintah, pelaku usaha dan civil society (warga sipil) diperlukan untuk memastikan regulasi dan kebijakan perlindungan konsumen, agar dapat menjaring masukan dan perspektif dari segala lini,” katanya melalui keterangan resmi.
Beberapa institusi yang diperlukan keterlibatannya antara lain adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), serta pelaku usaha.
Sinergi ini diperlukan dalam merumuskan interpretasi dan implementasi kebijakan, serta menentukan parameter untuk mengukur kepatuhan pelaku usaha dan literasi konsumen terhadap hak-haknya. “Yang terjadi saat ini justru konsumen sangat tergantung kepada responsible business conduct (tanggung jawab bisnis) yang dilakukan oleh pelaku usaha secara mandiri,” ujar Halimah.
Padahal, responsible business conduct saja tidak cukup untuk melindungi konsumen, karena diperlukan payung hukum untuk itu. Pengertian dan implementasi perlindungan konsumen semestinya mempunyai indikator atau standar.
Regulasi yang ada saat ini, kata Noor Halimah, dinilai belum cukup memadai untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dan data-data mereka. Regulasi yang berlapis dan tersebar di beberapa institusi pemerintah membuat penanganan masalah dalam perdagangan pada marketplace menjadi tersebar dan tidak terfokus.
Salah satu yang perlu dilakukan adalah mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Sebab, saat ini perlindungan data pribadi tersebar di 32 Undang-Undang (UU) sekaligus. Pengesahan RUU PDP diharapkan bisa memunculkan kesadaran konsumen terhadap perlunya perlindungan data miliknya.
Hal ini sekaligus mendorong pelaku usaha atau penyedia layanan untuk lebih transparan dalam penggunaan data, serta lebih bertanggung jawab terhadap kerahasiaan data konsumen.
“Penggunaan data pribadi bagi oknum penyedia layanan e-commerce tidak jarang disalahgunakan dan diakses untuk kepentingan di luar transaksi yang dilakukan antara konsumen dengan penyedia platform,” imbuh Halimah.
Terkait regulasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mendorong pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) menjadi UU. Melansir Antaranews.com, Staf Khusus Menkominfo Bidang Komunikasi Politik J.H. Philip Gobang mengungkapkan bahwa pembahasan RUU PDP bersama Komisi I DPR RI sudah mulai menemukan titik terang.
“Kesepahaman kini sudah ada. Tinggal dibahas lebih lanjut pembahasannya di DPR,” katanya, Jumat (10/6/2022). Ia pun berharap pengesahan RUU PDP bisa segera terealisasi.
Sementara itu, Kementerian Kominfo juga menggagas peningkatan literasi digital melalui kerja sama dengan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi. Peningkatan literasi digital dilakukan dalam berbagai format program seperti lomba pembuatan konten, dan webinar.
Ada pula kelas-kelas daring dengan topik yang relevan seperti komunikasi digital, verifikasi data, identifikasi berita hoax, perlindungan identitas digital, serta etika warga digital. Terdapat pula kelas-kelas pelatihan hardskill seperti pelatihan pembuatan animasi, public speaking, hingga digital marketing.
Literasi digital penting bagi konsumen yang melakukan transaksi di berbagai platform online. Sebab, literasi digital dapat menghindarkan konsumen dari melakukan hal yang membahayakan dirinya.
Misalnya, membagikan data sensitif, melakukan transaksi di luar ketentuan yang ditetapkan platform, dan lain-lain. Dalam program edukasi oleh Kementerian Kominfo dan GNLD Siberkreasi, terdapat empat pilar yang ditekankan.
Pilar-pilar itu yakni kemampuan digital (digital skill), etika digital (digital ethics), budaya digital (digital culture), dan keamanan digital (digital safety). Isu mengenai perlindungan data pribadi masuk ke dalam bab materi keamanan digital.
Kegiatan literasi digital tersebut diselenggarakan secara gratis dan terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat. Lebih jauh seputar implementasi pilar literasi digital, khususnya keamanan digital, dapat Anda simak melalui pranala info.literasidigital.id.