Memahami Sanksi Kebiri Kimia untuk Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak

FREEPIK
Ilustrasi, penyuntikan obat untuk pelaksanaan sanksi tindakan kebiri kimia.
Editor: Agung
24/10/2022, 16.45 WIB

Terdapat 2.010 kasus perlindungan anak pada 2022. Kasus tersebut meliputi penelantaran anak, anak korban bencana, anak korban konflik, korban perebutan, korban perebutan hak asuh, korban penculikan, korban perdagangan manusia, dan korban kekerasan seksual.

Berkaitan dengan kasus kekerasan seksual, pemerintah telah menetapkan sanksi tindakan kebiri kimia. Sanksi tindakan kebiri kimia disinggung dalam Pasal 81 Ayat (7) Undang-undang (UU) Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Sanksi ini hadir sebagai perlindungan terhadap hak anak berupa kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, termasuk perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sebelumnya, melalui UU 23/2002 pemerintah telah menetapkan sanksi untuk melindungi anak Indonesia. Namun, tampaknya sanksi tersebut tidak berhasil, sehingga pemerintah pun menitikberatkan sanksi kembali pada perubahan kedua undang-undang tersebut yakni UU 35/2014. Namun UU ini belum menyinggung adanya sanksi tindakan kebiri kimia.

Dalam perkembangannya, terbukti kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak turun secara signifikan. Pemerintah pun melakukan upaya pemberatan sanksi pidana beserta bentuk pencegahan berupa tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan adanya rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Sanksi tersebut tercantum pada UU 17/2016. Oleh karena itu, menarik jika membahas lebih lanjut terkait sanksi tindakan kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual pada anak.

Pelaku yang Dapat Dikenai Sanksi Tindakan Kebiri Kimia

Pasal 76D UU 23/2002 juncto UU 35/2014 menegaskan, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Dalam pasal tersebut diketahui bahwa orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan kepada anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Perbuatan yang dimaksud, dapat dikenai sanksi yang diatur dalam Pasal 81 Ayat (1) UU 23/2002 juncto UU 17/2016 tentang Perlindungan Anak. Sanksi tersebut adalah, berupa pidana penjara paling singkat lima tahun, dan paling lama 15 tahun, serta denda paling banyak Rp 5 miliar.

Sanksi tersebut akan diputuskan oleh Majelis Hakim dalam persidangan. Namun, terdapat ketentuan tambahan terkait pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang dipidana kebiri kimia. Pelaku tersebut tercantum dalam Pasal 81 Ayat (3) UU 23/2002 juncto UU 17/2016.

Pasal 81 Ayat (3) tersebut, menegaskan lebih rinci terkait pihak yang dapat dikenai tambahan sanksi dan yang dapat dikenai sanksi tindakan kebiri kimia.

Pasa; tersebut, berbunyi "Jika tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak itu dilakukan oleh orang tua, wali, orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 atau lima miliar rupiah."

Kemudian, penambahan sanksi sepertiga tersebut juga berlaku bagi pelaku residivis atau pelaku tindak pidana yang pernah dpidana karena melakukan tindak pidana yang sama. Singkatnya, pelaku residivis ini mengulangi perbuatan yang dahulu pernah didakwakan kepadanya. Ia adalah seseorang yang setelah menjalani masa pemidanaan, orang tersebut mengulangi tindakannya lagi.

Selain itu, terdapat ketentuan pada Pasal 81 Ayat (5) 23/2002 juncto UU 17/2016 terkait dengan akibat yang ditimbulkan pelaku. Aturan tersebut menjelaskan jika tindak pidana kekerasan seksual tersebut menimbulkan korban lebih dari satu, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dapat dipidana mati seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 dan paling lama 20 tahun.

Sanksi-sanksi tersebut telah diperberat daripada aturan sebelumnya. Terhadap pelaku yang dimaksud dalam Pasal 81 Ayat (4) dan (5) UU 23/2002 juncto UU 17/2016, dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Sanksi ini diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Pidana tambahan dan tindakan ini dikecualikan jika pelaku adalah seorang anak.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa seseorang yang dikenai sanksi tindakan kebiri kimia adalah seseorang yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang memenuhi unsur sebagai berikut:

1. TIndakan Kekerasan Seksual pada Anak Dilakukan oleh:

  • Orang tua.
  • Wali.
  • Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga.
  • Pengasuh anak.
  • Pendidik.
  • Tenaga kependidikan.
  • Aparat yang menangani perlindungan anak.
  • Dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama.
  • Pelaku residivis.

2. Kekerasan Seksual yang Dilakukan Mengakibatkan:

  • Timbulnya korban lebih dari satu.
  • Luka berat.
  • Mengakibatkan gangguan jiwa.
  • Mengakibatkan penyakit menular.
  • Terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi.
  • Korban meninggal dunia.

Pelaku di atas dapat memenuhi salah satu poin 1 atau 2 agar dapat dikenakan sanksi tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Pelaksanaan sanksi ini diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dapat diketahui pula dalam aturan perlindungan anak, sanksi pidana penjara paling sedikit adalah 5 (lima) tahun dan paling banyak adalah 20 (dua puluh) tahun dengan denda paling banyak Rp 5 miliar.