Buruh Tolak Kenaikan UMP 2023, Ancam Aksi Besar Pekan Depan

ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/aww.
Demonstran yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melintas dekat mobil komando saat berunjuk rasa di depan Kantor Gubernur Banten di Serang, Senin (6/12/2021).
Penulis: Nadya Zahira
28/11/2022, 21.30 WIB

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI menolak adanya kenaikan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2023 yang diatur pemerintah dalam Peraturan Menaker Nomor 18 Tahun 2022 maksimal 10% karena dinilai kenaikan tersebut masih belum bisa mencukupi kebutuhan para buruh. 

Presiden KSPI, Said Iqbal mencermati kenaikan UMP di beberapa provinsi seperti Banten sebesar 6,4%, Jogja sebesar 7,65, Jawa Timur sebesar 7,85%, hingga DKI Jakarta sebesar 5,6%.

Menanggapi hal ini, dia serta pihaknya menolak nilai persentase kenaikan UMP dikarenakan dibawah nilai inflasi Januari-Desember 2022 yaitu sebesar 6,5%, ditambah pertumbuhan ekonomi Januari -Desember yang diperkirakan sebesar 5%. 

"Kenaikan UMP dan UMK di seluruh Indonesia seharusnya adalah sebesar inflasi dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi atau kab/kota di tahun berjalan, bukan menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahunan atau year on year," ujar Said, yang juga Presiden Partai Buruh, dalam keterangan resmi, pada Senin (28/11).

Said melanjutkan, jika menggunakan data September 2021 ke September 2022, hal itu tidak memotret dampak kenaikan BBM yang mengakibatkan harga barang melambung tinggi, karena kenaikan BBM terjadi pada Oktober 2022.

Selanjutnya, Said mengatakan terkait dengan kenaikan UMP DKI Tahun 2023 sebesar 5,6%. Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh mengecam keras keputusan Pejabat Gubernur DKI yang tidak sensitif terhadap kehidupan buruh. 

Menurutnya, kenaikan UMP DKI Tahun 2023 sebesar 5,6% tersebut masih dibawah nilai inflasi. Dengan demikian Gubernur DKI dinilai tidak mempunyai rasa peduli dan empati pada kaum buruh. Untuk itu, pihaknya mendesak agar Pejabat Gubernur DKI merevisi kenaikan UMP DKI Tahun 2023 sebesar 10,55% sesuai dengan yang diusulkan Dewan Pengupahan Provinsi DKI unsur serikat buruh.

Said menilai, kenaikan UMP DKI 5,6% tidak akan bisa memenuhi kebutuhan buruh dan rakyat kecil di DKI. Sebab biaya sewa rumah sudah 900 ribu, transportasi dari rumah ke pabrik pulang-pergi atau PP, dan pada hari libur bersosialisasi dengan saudara dibutuhkan anggaran sebesar Rp 900.000.

Kemudian, untuk biaya makan sebanyak tiga kali sehari dengan anggaran sehari Rp 40.000 menghabiskan sekitar Rp 1,2 juta dalam sebulan. Tak hanya itu, biaya listrik juga diperlukan kurang lebih sekitar Rp 400.000, serta biaya komunikasi sebanyak Rp 300.000, sehingga totalnya sebesar Rp 3,7 juta.  

"Jika upah buruh DKI 4,9 juta dikurangi 3,7 juta hanya sisanya 1,2 juta. Apakah cukup membeli pakaian, air minum, iuran warga, dan berbagai kebutuhan yang lain?Jadi dengan kenaikan 5,6% buruh DKI tetap miskin," ujar Said Iqbal. 

DEMO BURUH TOLAK UPAH MURAH (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/aww.)

Kemudian, UMP DKI yang naik 5,6% akan mengakibatkan UMK di seluruh Indonesia menjadi kecil. Oleh sebabnya, Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh mendesak agar UMP DKI direvisi menjadi sebesar 10,55% sebagai jalan kompromi dari serikat buruh yang sebelumnya mengusulkan 13%.

Said mengatakan, Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh mengapresiaai sikap pemerintah yang menggunakan Permenaker 18/2022 dan tidak lagi menggunakan PP 36/2021.

 Kendati demikian, Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh meminta Bupati dan Walikota dalam merekomendasikan nilai UMK ke Gubernur adalah sebesar antara 10 hingga 13%. 

"Bilamana tuntutan di atas tidak didengar, mulai minggu depan akan ada aksi besar di berbagai daerah di seluruh Indonesia untuk menyuarakan kenaikan upah sebesar 10 hingga 13%," tegas Said. 

 

Reporter: Nadya Zahira