Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) diagendakan akan dibawa ke pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan dalam rapat paripurna DPR, Selasa (6/12) mendatang. Kendati demikian, masih ada polemik dalam beberapa pasal yang menimbulkan pro dan kontra.
Ahli hukum pidana Universitas Brawijaya, Malang, Lucky Endrawati, mengungkapkan terdapat beberapa pasal tindak pidana yang masih menjadi objek bahasan dalam RKUHP. Pasal-pasal itu diperbincangkan lantaran masih ada kelompok masyarakat yang mempertanyakannya.
"Ada 14 pasal tindak pidana yang masih menjadi objek bahasan dalam RUU KUHP," kata Lucky kepada Katadata.co.id Jumat (2/12).
Daftar 14 Pasal Krusial dalam RUU KUHP
1. Living Law (Pasal 2 & 601 RUU KUHP)
Menurut Lucky, pasal ini sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup. Meski begitu penggunaan hukum adat akan tetapi dibatasi oleh Pancasila, UUD 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum.
"Memberlakukan hukum pidana adat melalui Peraturan Daerah memperkuat kedudukan hukum pidana adat," kata Lucky.
2. Pidana Mati (Pasal 67 & 100 RUU KUHP)
RUU KUHP telah mengatur bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Pidana mati dapat diberikan dengan mempertimbangkan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri.
Pasal ini juga akan melihat peran terdakwa dalam Tindak Pidana. Selain itu Hakim juga akan melihat alasan yang meringankan (Pasal 100 ayat 1).
3. Kebebasan Berpendapat dalam RUU KUHP
Lucky mengatakan, penyusunan Tindak Pidana dalam RUU KUHP sudah mengacu pada beberapa Pertimbangan Putusan MK:
Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006: Pengujian Pasal 134, 136 & 137 KUHP tentang Penghinaan Presiden. Dalam putusannya MK menyebutkan penghinaan terhadap presiden selaku pejabat dapat menggunakan Pasal 207 KUHP sebagai Delik Aduan.
Putusan MK No. 6/PUU-V/2007: Pengujian Pasal 154 KUHP tentang Penghinaan Terhadap Pemerintah. Dalam putusannya MK menetapkan perubahan pasal 154 KUHP yang isinya setuju dengan rumusan Pasal 240 RUU KUHP yang mengubah delik formil menjadi delik materiil yang telah disusun secara demokratis.
Putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015: Pengujian Pasal 319 jo. 316 KUHP tentang Penghinaan Terhadap Pejabat sebagai Delik Biasa. Putusan ini menetapkan bahwa pasal penghinaan terhadap pejabat sebagai Delik Aduan.
4. Penghinaan Presiden (Pasal 218 RUU KUHP)
Lucky mengatakan, Pasal ini mengacu pada pertimbangan dan Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 mengenai Pasal 207 KUHP. Putusan itu menyatakan bahwa dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat tetap bisa dituntut dengan Pasal Penghinaan Terhadap Penguasa Umum tapi sebagai Delik Aduan.
5. Tindak Pidana Menyatakan Diri Memiliki Kekuatan Gaib Untuk Mencelakakan Orang
(Pasal 252 RUU KUHP)
Pidana berlaku bagi yang mengaku memiliki kekuatan gaib yang dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik. Menurut Lucky, pasal ini jenisnya adalah Delik Formil, yaitu yang dilarang adalah perbuatannya saja, tanpa memperhatikan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatan itu.
6. Membiarkan Unggas yang Merusak Kebun/Tanah yang Telah Ditaburi Benih
(Pasal 277 RUU KUHP)
Lucky mengatakan, pasca sosialisasi RUU KUHP, telah dilakukan penambahan frasa 'yang menimbulkan kerugian' (menjadi Delik Materiil).
"Pasal ini masih diperlukan guna melindungi kepentingan hukum para petani," katanya.
7. Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan/Contempt of Court
(Pasal 280 RUU KUHP)
Lucky mengatakan, pasal ini diperlukan untuk menjaga ketertiban jalannya persidangan. Selain itu ketentuan ini juga untuk melindungi integritas dan wibawa pengadilan.
8. Tindak Pidana Terhadap Agama/Penodaan Agama
(Pasal 302 RUU KUHP)
Lucky menjelaskan, perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah menunjukkan permusuhan, kebencian, dan hasutan untuk melakukan permusuhan. Selain itu juga ada larangan untuk kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama dan kepercayaan orang lain.
9. Tindak Pidana Penganiayaan Hewan
(Pasal 340 ayat (1) RUU KUHP)
Lucky mengatakan ketentuan ini masih diperlukan dan telah diberikan penjelasan pasal bahwa tujuan yang dimaksud dengan “tujuan yang tidak patut”. Menurut Lucky maksud dari tujuan yang tidak patut antara lain, selain untuk konsumsi, ilmu pengetahuan, penelitian dan medis.
10. Tindak Pidana Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan Pada Anak
(Pasal 412 RUU KUHP)
Lucky berpandangan ketentuan ini ditujukan untuk melindungi anak dari perilaku seks bebas. Ketentuan ini dipakai dengan pengecualian bahwa penyampaian informasi dan/atau peragaan alat, obat, dan cara kontrasepsi dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga lain yang terlatih di tempat dan dengan cara layak. Selain itu pasal ini juga tidak berlaku bagi kepentingan program KB, pencegahan PMS, pendidikan dan ilmu pengetahuan.
11. Penggelandangan Sebagai Tindak Pidana
(Pasal 429 RUU KUHP)
Lucky mengatakan, tujuan pengaturan Tindak Pidana ini adalah untuk menjaga ketertiban umum.
12. Aborsi dalam RUU KUHP
(Pasal 467 RUU KUHP)
Menurut Lucky, bukan merupakan Tindak Pidana baru. Ketentuan ini sudah diatur dalam Pasal 346, 347, 348 dan 349 KUHP.
13. Ruang Privat Masyarakat Terkait Kesusilaan
Lucky mengatakan, pengaturan Tindak Pidana yang berkaitan dengan ruang privat masyarakat misalnya Tindak Pidana Perzinaan dan Tindak Pidana Hidup Bersama di Luar Perkawinan diatur sebagai Delik Aduan. Ketentuan ini hanya hanya dapat diproses secara hukum apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan langsung, yaitu suami atau istri; atau orang tua atau anaknya.
14. Tindak Pidana Perzinaan (Pasal 415), Kohabitasi (Pasal 416) & Perkosaan dalam Perkawinan (Pasal 477)
Delik aduan yang hanya dapat diproses bila ada pengaduan dari pasangan, orang tua, atau anak.
Pasal yang dihapus dari RUU KUHP
Selain 14 pasal krusial yang masih tersisa, Lucky mengatakan ada dua pasal yang telah dihapus dari RUU KUHP berdasarkan pembahasan terakhir yang telah disepakati pemerintah dan DPR. Dua pasal yang dihapuskan adalah
Penghapusan Tindak Pidana Advokat Curang
Pasal ini telah dihapus karena berpotensi bisa dan menimbulkan diskriminasi terhadap salah satu profesi penegak hukum. Lucky mengatakan, tindakan kecurangan di peradilan dapat dilakukan oleh para penegak hukum lainnya (polisi, jaksa, dan hakim), termasuk panitera pengadilan. Lebih jauh, ia mengatakan ketentuan tersebut dapat diatur dalam UU Sektoral masing-masing.
Penghapusan Pasal Tentang Dokter/Dokter Gigi yang Menjalankan Pekerjaan Tanpa Izin
Lucky mengatakan, pasal tersebut sesuai dengan Putusan MK No. 4/PUU-V/2007 yang menghapuskan sanksi pidana penjara bagi dokter/dokter gigi yang menjalankan pekerjaan tanpa izin. Ketentuan ini juga sudah diatur dalam Pasal 76 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.