Partai Buruh Tolak Tiga Aturan Upah Minimum dalam Perppu Cipta Kerja

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz.
Buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Penulis: Happy Fajrian
1/1/2023, 18.28 WIB

Partai Buruh, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan organisasi serikat buruh menolak empat pasal terkait upah minimum dalam Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Ciptaker.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan ada empat pasal yang menjadi fokus keberatan kalangan buruh terkait penentuan upah minimum yang diatur dalam beleid tersebut.

Pertama, terkait pasal 88C ayat 2 yang mengatur bahwa Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Said mengatakan pihaknya menolak penggunaan kata “dapat” pada pasal tersebut.

“Itu sama dengan UU Cipta Kerja. Kata-kata hukum ‘dapat’ artinya bisa ada, bisa tidak, tergantung gubernur. Ganti gubernur, ganti kebijakan,” ujarnya dalam Konferensi Pers Partai Buruh, KSPI, dan Organisasi Serikat Buruh tentang Perppu Cipta Kerja yang Tidak Sesuai Harapan Buruh, Minggu (1/1).

Oleh karena itu, lanjut Said, Partai Buruh, KSPI dan organisasi serikat buruh mengusulkan, cukup gubernur yang menetapkan upah minimum kabupaten/kota.

Kedua, Partai Buruh menolak formula penghitungan upah minimum yang mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu yang diatur pada pasal 88D ayat 2. Penolakan terutama pada variabel indeks tertentu yang menurut Said tidak jelas definisinya.

“Kami tidak tahu apa itu indeks tertentu. Sebagai ILO Governing Body, tidak pernah dikenal indeks tertentu dalam menetapkan upah minimum. Upah minimum hanya ada dua cara, survei barang-barang kebutuhan hidup layak, atau inflasi plus pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Dia menegaskan bahwa Partai Buruh menolak penggunaan variabel indeks tertentu dalam menghitung upah minimum. “Cukup inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” kata dia.

Ketiga, menolak aturan dalam pasal 88F yang menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda. Menurut Said pasal ini berbahaya karena pemerintah dapat mengubah formula upah minimum sewaktu-waktu.

Dia menduga pasal ini hadir untuk melindungi perusahaan yang tidak mampu, dalam kondisi krisis, membayar kenaikan upah minimum. Contohnya pada masa pandemi Covid-19. Namun menurutnya tidak semua perusahaan mengalami krisis, seperti di sektor batu bara, kelapa sawit, dan manufaktur.

“Ini biasanya tekstil, garmen, dan sepatu (yang tidak mampu). Seharusnya pasalnya adalah bagi perusahaan yang tidak mampu dengan dibuktikan laporan keuangan merugi dua tahun berturut-turut, bukan pemerintah yang seenaknya mengubah, karena undang-undang itu harus rigid, tak boleh ada pengecualian,” kata Said.

Perusahaan yang tidak mampu itulah, yang telah memberikan bukti tertulis berupa laporan keuangan merugi dua periode berturut-turut, yang dapat menangguhkan kenaikan upah minimum.