Media Perempuan Berkolaborasi untuk Hadapi Tantangan Utama

ANTARA FOTO/Maulana Surya/nym.
Pengunjung mengamati dokumentasi foto kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode tahun 2014 hingga 2022 pada pameran peringatan Hari Pers Nasional di Monumen Pers Nasional, Solo, Jawa Tengah, Rabu (1/2/2023). Pameran dalam rangkaian Festival Pers 2023 tersebut juga diisi dengan sarasehan kewartawanan, pelatihan jurnalistik dan berbagai perlombaan.
25/2/2023, 16.57 WIB

Media yang mengusung perspektif perempuan, Konde.co menginisiasi kegiatan untuk memetakan kondisi media perempuan di Indonesia. Harapannya, temuan tersebut akan ditindaklanjuti dengan sejumlah kolaborasi dalam menghadapi tantangan.

Direktur Konde.co, Nani Afrida mengungkapkan kalau media perempuan menghadapi sejumlah tantangan dari kesulitan memperluas pembaca, hingga krisis finansial. Oleh karena itu, kolaborasi sesama media perempuan menjadi kebutuhan untuk menjawab tantangan tersebut.

“Saling menguatkan sesama media perempuan menjadi hal paling rasional saat ini, di tengah berbagai tantangan yang dihadapi,” ujar Nani, Jumat (24/2).

Chief Community Officer dan Pemimpin Redaksi Femina, Petty S Fatimah menyampaikan ada tiga tantangan pengembangan media perempuan saat ini. Pertama, perilaku konsumen yang berubah diikuti perubahan industri media akibat digitalisasi. Perubahan tersebut membuat media perlu menyesuaikan dengan kondisi digital.

"Media itu seperti air, tidak usah kekeh dengan kemauan, tapi harus menyesuaikan," ujar Petty saat menghadiri Sarasehan Media Perempuan Arus Utama.

Perubahan bisnis media menjadi tantangan media perempuan kedua. Media perempuan tidak lagi hanya menggantungkan pendapatan dari iklan karena adanya digitalisasi.

"Revenue datang dari display ad (advertorial) di website, involving-nya cepat sekali. Saat digital ad jadi mainstream, ad (iklan) tersedot ke Youtube termasuk Google. Media berpikir keras dengan ini," katanya.

Tantangan ketiga adalah pergeseran isu perempuan. Petty mengakui terdapat tren mengenai isu perempuan yang ramai dibicarakan oleh audiens. Tren tersebut berubah seiring waktu, seperti isu body shaming yang besar dengan dipicu oleh sosial media, tetapi kemudian berubah dengan isu lainnya.

"Kalau kita mau isu perempuan lebih nonjol, kita harus punya lobi yang lain. Perempuan equal di media harus dimulai dari visi misi perusahaannya," ujar Petty.

Sementara itu, Konde.co juga didukung Google News Initiative dalam memperkuat kolaborasi media-media perempuan di Indonesia dengan melibatkan media arus utama, di samping keterlibatan media perempuan alternatif.

Pelibatan media arus utama tersebut diawali dengan Sarasehan Media Perempuan Arus Utama di Indonesia yang digelar, Jumat (24/2). Pertemuan tersebut untuk memetakan kondisi, tantangan, dan kebutuhan media perempuan arus utama.

Konde.co kemudian mempertemukan delapan media arus utama yang memiliki rubrik khusus perempuan dan atau ditujukan kepada pembaca perempuan, dalam Sarasehan Media Perempuan Arus Utama: “Mengurai Tantangan dan Kebutuhan untuk Kolaborasi Media Perempuan Indonesia”. Media-media tersebut berasal dari wilayah Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Kalimantan.

Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kedua untuk kegiatan Sarasehan Media Perempuan di Indonesia, di mana sebelumnya Jumat (17/3) telah mempertemukan 16 media perempuan alternatif. Kedua kegiatan dilakukan untuk memetakan kondisi media perempuan di Indonesia yang hasilnya akan dituliskan dalam sebuah laporan.

Sementara itu, Editor Media Indonesia, Indrastuti menilai untuk mengangkat isu perempuan tidak cukup mudah. Menurutnya, pembuat kebijakan di media arus utama perlu memiliki kemauan (willingness) untuk memberi porsi isu perempuan. "Isu perempuan tampil di HL (headline) kalau ada kejadian besar," ujarnya.

Sementara itu, jurnalis Kompas, Sonya Hellen Sinombor menyampaikan isu perempuan setiap hari menghiasi media, tetapi yang terpenting adalah perspektifnya. Dia berharap media tidak menampilkan perspektif yang merendahkan atau eksploitasi perempuan.

"Perempuan berhadapan dengan hukum, ada selalu di meja redaksi, tapi bagaimana itu ditampilkan? Semestinya perspektif perempuan, tapi tidak mudah. Kita perempuan jurnalis harus saling memberi penguatan," ujar Sonya.

Dengan berbagai tantangan yang ada, Dian Kardha Managing Editor Nova mengungkapkan sesama media perempuan perlu berkolaborasi untuk membesarkan suara, apalagi saat ini media menghadapi tantangan munculnya influencer yang turut berebut advertorial.

"Kalau kita kolaborasi voicenya bisa lebih besar, 10 media perempuan atau mainstream suarakan satu hal, pastikan sebarannya lebih luas," kata Dian.

Lestari Nurhajati, Editorial Adviser Konde.co mengungkapkan saat ini banyak media arus utama membuka kanal isu perempuan. Sayangnya, mereka masih menghadapi persoalan klasik seperti mendapatkan pembaca dan mampu bertahan secara finansial, namun tetap kritis.

Untuk itu, dia menekankan pentingnya pemetaan kondisi media perempuan di Indonesia demi mendapatkan gambaran tantangan dan kebutuhan untuk tumbuh semakin kuat ke depan. "Mapping media di Indonesia sudah cukup kuat menggambarkan bagaimana media bisa bertahan, tapi bagaimana dengan media perempuan di Indonesia, itu masih perlu digali," ujarnya.