Poin Alokasi Wajib Hilang dalam RUU Kesehatan, DPR Soroti Kemenkeu

ANTARA FOTO/Sakti Karuru/aww.
Petugas kesehatan memeriksa peralatan di ruang operasi saat peresmian layanan kateterisasi jantung dan bedah minimal invasif di Rumah Sakit Provita, Kota Jayapura, Papua, Selasa (13/6/2023).
4/7/2023, 17.59 WIB

Revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan belum juga diketok dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu penyebabnya adalah hilangnya klausul alokasi wajib atau mandatory spending dalam RUU tersebut.

Wakil Ketua Komisi IX Kurniasih Mufidayati mengatakan salah satu penyebab hilangnya mandatory spending dalam RUU Kesehatan adalah Kementerian Keuangan. Mufidayati menjelaskan pembahasan klausul terkait mandatory spending memang dipimpin oleh Kementerian Keuangan.

Mufidayati menceritakan pembahasan terkait alokasi wajib terus ditunda hingga akhir masa pembahasan. Saat itu, Komisi IX mengundang Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata untuk memberikan pandangan terkait mandatory spending dalam RUU Kesehatan.

"Dari Kementerian Keuangan tidak bisa memberikan mandatory spending," kata Mufidayati dalam Forum Legislasi DPR, Selasa (4/7).

Mufidayati menilai Kementerian Kesehatan perlu berjuang lebih keras bernegosiasi dengan Kemenkeu jika ingin mengajukan alokasi anggaran wajib dalam RUU Kesehatan. Ia juga berharap agar pembahasannya bisa dimunculkan lagi pada pembicaraan tingkat kedua DPR.

Seperti diketahui, Draf RUU Kesehatan telah lolos pembicaraan tingkat pertama oleh Komisi IX. Draf tersebut tercatat menghapus sebanyak 20 pasal dari draf yang diserahkan pemerintah kepada DPR, termasuk pasal terkait mandatory spending.

Pasal 171 UU Kesehatan mengatur pemerintah pusat wajib mengalokasikan anggaran kesehatan setidaknya 5% dari total anggaran di luar gaji pegawai. Sementara itu, anggaran yang wajib disisihkan pemerintah daerah adalah 10% di luar gaji pegawai.

Mufidayati yang berasal dari Fraksi PKS menjelaskan keberadaan mandatory spending di RUU Kesehatan menjadi penting, khususnya selama masa pandemi. Pasalnya, mandatory spending akan menjamin ketersediaan dana dalam pengadaan alat kesehatan, obat, dan layanan fasilitas pelayanan kesehatan.

"Kita sudah belajar, pandemi 2,5 tahun itu sangat berat kalau tidak ada jaminan anggaran kesehatan," kata Mufidayati.

Walau demikian, Mufidayati mengakui pembahasan terkait penghapusan mandatory spending dalam RUU kesehatan melalui proses yang panjang. Mufidayati mengaku memiliki banyak kesamaan dengan pemerintah saat proses pembahasan berlangsung.

Keputusan terakhir terkait penghapusan mandatory spending tetap ada di tangan Panitia Kerja RUU Kesehatan. Untuk diketahui, separuh Anggota Panja RUU Kesehatan berasal dari Anggota Komisi IX DPR, sedangkan separuh lainnya merupakan perwakilan dari pemerintah.

"Ini membuat saya pribadi dan teman-teman agak kaget, karena ruhnya UU ini ada di mandatory spending," kata Mufidayati. 

Respons Kemenkeu dan Kemenkes

Sedangkan Isa Rachmatarwata saat dikonfirmasi mengatakan usulan penghapusan alokasi wajib sudah ada dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan. Meski demikian, ia tak menjawab secara gamblang apakah usulan tersebut berasal dari Kemenkeu atau tidak.

"Saya memang hadir dalam beberapa rapat Panja," katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (4/7).

Sedangkan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan salah satu alasan penghapusan alokasi wajib adalah efisiensi anggaran. Walau demikian, Nadia optimistis realisasi anggaran kesehatan pada masa depan dapat lebih dari 10%.

Nadia mencatat realisasi anggaran kesehatan pada 2020 telah mencapai 7,8% dari total anggaran negara. Angka tersebut telah lebih tinggi dari ketentuan mandatory spending pada UU Kesehatan sebesar 5% dari total anggaran negara.

"Selama perencanaan atau peruntukannya jelas, negara akan bisa mengalokasikan lebih dari angka minimal yang diwajibkan," kata Nadia dalam acara yang sama dengan Mufidayati.

Reporter: Andi M. Arief