- RUU Kesehatan muncul setelah pandemi Covid-19 mengekspos kerentanan sistem kesehatan Indonesia.
- Salah satu yang menjadi sorotan dalam aturan itu adalah penghapusan alokasi minimum anggaran negara untuk belanja kesehatan.
- Setidaknya lima organisasi profesi di sektor kesehatan telah menyatakan penolakannya terhadap RUU Kesehatan.
Rancangan Undang-Undang Kesehatan mengundang penolakan, terutama dari organisasi profesi dan peneliti. Alasannya beragam. Mulai dari berkurangnya peran organisasi profesi hingga ke polemik anggaran kesehatan dalam belanja negara. Pemerintah bersikeras mendorong legislasi sapu jagat ini untuk memperbaiki sistem kesehatan.
Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan RUU Kesehatan pada Februari 2023. Anggota DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, aturan tersebut akan meringkas 11 undang-undang dengan 458 pasal yang tersebar dalam 20 bab.
Pada sidang paripurna 20 Juni 2023, para anggota dewan belum mengesahkan RUU Kesehatan. Penundaan terjadi meskipun sehari sebelumnya Komisi IX DPR dan pemerintah telah sepakat untuk mengesahkan legislasi yang penuh kontroversi itu.
“Pembahasan RUU tentang Kesehatan telah dilakukan secara intensif, hati-hati, dan komprehensif dengan menggunakan landasan berpikir adanya urgensi penguatan sistem kesehatan nasional,” kata Melkiades, yang juga memimpin panitia kerja draf undang-undang itu, pada 19 Juni 2023.
RUU sapu jagat di sektor kesehatan ini muncul setelah pandemi Covid-19 mengekspos kerentanan sistem kesehatan Indonesia. Mengutip The Economist dan lembaga riset Our World in Data, pandemi menimbulkan kematian berlebih di Indonesia hingga 856.144 jiwa hingga 19 Juni 2023. Jumlah tersebut 5,2 kali lebih tinggi dari kematian Covid-19 yang terkonfirmasi.
Menurut Melkiades, RUU Kesehatan mengandung sejumlah poin, termasuk memperkuat pendanaan, memperbaiki sistem kesehatan untuk menghadapi kedaruratan, dan memperbaiki layanan di wilayah terpencil. Aturan ini juga dapat meningkatkan suplai tenaga medis lewat reformasi pendidikan, mengubah proses registrasi dan perizinan, dan memperbaiki rantai pasokan untuk obat-obatan dan alat kesehatan.
Namun, draf UU ini telah bermuara ke perselisihan di dalam DPR. Di satu sisi, fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Gerakan Indonesia Raya mendukung legislasi tersebut. Fraksi Partai Golongan Karya, Partai Nasional Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa mendukung dengan catatan. Dua fraksi menolaknya, yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut RUU Kesehatan akan mengatasi beragam masalah, seperti perizinan yang rumit, kekurangan jumlah tenaga kesehatan, dan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. “Presiden menyampaikan mimpi Indonesia emas 2045. Kapal besar bangsa ini telah berlayar dan harapan akan masa keemasan itu tidak akan tercapai tanpa manusia dan rakyat Indonesia yang sehat,” katanya pada 19 Juni 2023.
Penghapusan Alokasi Belanja Kesehatan
Salah satu yang menjadi sorotan dalam aturan itu adalah penghapusan alokasi minimum anggaran negara untuk belanja kesehatan. Anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera Neety Prasetiyani menyebut hal ini yang menjadi salah satu pertimbangan fraksinya menolak draf RUU Kesehatan.
Padahal, pada Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah ada alokasi tersebut. Porsi minimum belanja kesehatan adalah 5% dari anggaran pendapatan dan belanja negara alias APBN. Di level daerah, pemerintah wajib mengalokasikan setidaknya 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Netty mengatakan, ketentuan mengenai porsi minimum belanja kesehatan dalam anggaran pemerintah sangat penting, termasuk untuk menghadapi pandemi. “Melalui sidang terhormat ini, saya ingin mengingatkan bahwa kesehatan adalah amanat konstitusi yang tidak dapat dibantah, harus kita wujudkan,” kata Netty dalam sidang paripurna di DPR di Jakarta Pusat pada 20 Juni 2023.
Dalam pembahasan sebelumnya, RUU Kesehatan sempat memuat ketentuan yang menaikkan porsi minimum belanja kesehatan ke 10% dari 5% untuk pemerintah pusat. Namun, pasal ini hilang jelang sidang paripurna.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives atau CISDI mendesak DPR untuk menunda pengesahan RUU Kesehatan dengan alasan yang sama. Menurut lembaga riset itu, masih ada 58 dari 514 kabupaten dan kota yang mengalokasikan kurang dari 10% anggarannya untuk pengeluaran kesehatan pada 2021.
“Kami memandang diperlukannya pembahasan lanjutan dengan waktu lebih panjang agar proses dan substansi teknis dalam penyusunan RUU ini bisa diperbaiki,” kata pendiri dan Direktur Utama CISDI Diah Satyani Saminarsih pada 8 Juni 2023.
Menurut anggota DPR Saleh Partaonan Daulay dari Partai Demokrat, penghapusan alokasi minimum anggaran kesehatan merupakan usulan dari pemerintah. Ketentuan ini dianggap memberikan “limitasi.”
Menteri Kesehatan Budi mengatakan, pengaturan program kesehatan lebih penting dari penetapan alokasi minimum belanja kesehatan. Kewajiban belanja ini cenderung bermuara ke pengeluaran untuk kebutuhan yang tidak berkaitan dengan kesehatan.
“Kalau programnya tidak dibuat, tidak dipersiapkan rencana belanjanya, akibatnya dana itu disalurkan untuk hal-hal yang tidak produktif,” kata Budi di Istana Wakil Presiden di Jakarta Pusat pada 20 Juni 2023.
Pemerintah mengalokasikan Rp 178,7 triliun untuk belanja kesehatan pada 2023. Anggaran kesehatan ini lebih rendah kira-kira 30% dari tahun sebelumnya. Penurunan terjadi karena pemerintah tidak lagi menganggarkan dana untuk penanganan pandemi Covid-19.
Pengikisan Peran Organisasi Profesi
Setidaknya lima organisasi profesi di sektor kesehatan telah menyatakan penolakannya terhadap RUU Kesehatan. Pada 5 Juni 2023, ribuan dokter dan perawat berdemonstrasi di depan gedung DPR di Jakarta Pusat. Mereka mendesak legislator untuk menghentikan pembahasan terkait draf aturan tersebut. Ini merupakan unjuk rasa yang kedua.
Protes tersebut melibatkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), serta forum tenaga kesehatan.
Para tenaga kesehatan yang berunjuk rasa mengancam akan melakukan mogok kerja jika DPR melanjutkan pembahasan RUU Kesehatan. “Setelah ini, kami menginstruksikan seluruh anggota untuk mogok kalau pemerintah tetap tidak menggubris dan tidak mengindahkan apa tuntutan kami hari ini,” kata juru bicara IDI Beni Satria di sela-sela unjuk rasa tersebut.
Terdapat sejumlah pasal yang IDI anggap bermasalah. RUU Kesehatan, misalnya, akan membuat surat tanda registrasi atau STR berlaku seumur hidup. Ketentuan ini mengubah program sertifikasi ulang lewat penerbitan STR setiap lima tahun sekali yang saat ini berlaku. IDI menganggap perubahan ini cenderung mengutamakan kuantitas.
Indonesia memang menghadapi kekurangan tenaga medis. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hanya ada kira-kira tujuh dokter untuk setiap 10 ribu orang di Indonesia pada 2021. Di Malaysia dan Singapura perbandingannya 22 dan 24 dokter per 10 ribu penduduk.
Selain itu, RUU Kesehatan dianggap mengikis peran IDI dalam penerbitan surat izin praktik. Dengan draf tersebut, pemerintah dapat menerbitkan surat tanpa rekomendasi IDI. Padahal, selama ini pemerintah daerah mengeluarkan surat tersebut berdasarkan rekomendasi organisasi itu.
Ada pula persoalan kemudahan pemberian izin untuk dokter asing dalam pasal 233 hingga Pasal 241 draf RUU Kesehatan.
Intinya dalam pasal-pasal tersebut, dokter asing dan dokter diaspora tidak perlu memenuhi sejumlah syarat apabila telah lulus pendidikan spesialis atau subspesialis paling sedikit lima tahun di luar negeri.
IDI tidak setuju dengan hal itu karena para dokter lulusan luar negeri tetap harus mematuhi standar domestik. Pemerintah, menurut organisasi itu, sebaiknya fokus memperbaiki pelayanan kesehatan dalam negeri, ketimbang mempermudah impor dokter asing. Selama ini masalahnya bukan pada jumlah, tapi distribusinya yang tidak merata.
Lalu, ada pula Pasal 328 dalam draf RUU Kesehatan yang menyebut penegakan disiplin tenaga kesehatan tidak menghilangkan hak pasien untuk melaporkan tenaga medis sebagai pelaku dugaan tindak pidana ke penegak hukum. Artinya, dokter dapat digugat secara pidana maupun perdana, walaupun telah melalui sidang disiplin.