Jokowi Evaluasi Posisi Militer di Instansi Sipil Imbas Kasus Basarnas

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/YU
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono (kiri) dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali menjawab pertanyaan wartawan usai pelantikan KSAL di Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/12/2022).
Penulis: Andi M. Arief
31/7/2023, 11.37 WIB

Presiden Joko Widodo berencana mengevaluasi beberapa lembaga sipil yang dipimpin bukan oleh Aparatur Sipil Negara atau ASN. Hal tersebut disampaikan saat menanggapi kasus dugaan korupsi oleh Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Henri Alfiandi.

Sebelum menjabat Kabasarnas, Henri merupakan purnawirawan TNI aktif di Angkatan Udara. Dengan statusnya sebagai TNI aktif, kasus dugaan korupsi yang kini menjerat Henri tidak diadili oleh aparat penegak hukum, tapi langsung oleh TNI.

"Semua lembaga sipil yang dipimpin bukan ASN akan dievaluasi. Tidak hanya masalah Basarnas, semuanya. Kami tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi," kata Jokowi di Inlet Sodetan Ciliwung, Senin (31/7).

Henri ditetapkan oleh KPK menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan barang di Basarnas pada 2021-2023 pada pekan lalu, Kamis (27/7). Henri ditetapkan menjadi tersangka setelah operasi tangkap tangan terhadap Koorsmin Kabasarnas RI Letkol Adm Afri Budi Cahyanto

Besoknya, Jumat (28/7), Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko mengatakan personel TNI yang diduga bersalah dan korupsi harus ditindak dengan mekanisme militer. "Kami keberatan kalau ditetapkan sebagai tersangka. Kami ada aturan sendiri di militer," kata Agung dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (28/7). 

Agung mengatakan sebenarnya TNI telah menyambangi KPK untuk menggelar rapat gelar perkara. Meski demikian, komisi antirasuah ternyata memutuskan memberikan status tersangka kepada Henri dan Letkol Afri Budi Cahyanto Koorsmin Kabasarnas RI. 

Usai protes dari Mabes TNI, KPK menyampaikan permintaan maaf terhadap penetapan tersangka terhadap Henri. Jokowi menilai hal tersebut hanya masalah koordinasi antara TNI dan KPK. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menilai semua instansi memiliki kewenangan masing-masing sesuai aturan.

"Kalau koordinasi itu dilakukan, rampung," kata Jokowi.

Duduk Perkara di Basarnas

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan Henri  diduga terlibat dalam suap pengadaan proyek alat deteksi korban reruntuhan.

Menurut Alexander KPK selain menaikkan status Henri KPK juga menetapkan empat orang lainnya sebagai tersangka. Mereka adalah Mulsunadi Gunawan  Komisaris Utama PT MGCS, Marilya Direktur Utama PT IGK, Roni Aidil  Direktur Utama PT KAU,, dan Afri Budi Cahyanto Koorsmin Kabasarnas RI.

Alex menjelaskan Kabasarnas Henri Alfiandi diduga menerima suap Rp 88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023. Suap itu ia terima lewat kerjasama dengan Afri Budi dari berbagai vendor pemenang proyek.

Menurut Alex kasus suap pengadaan barang di Basarnas berawal pada 2021. Saat itu Basarnas melaksanakan beberapa tender proyek pekerjaan yang diumumkan melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Basarnas yang dapat diakses oleh umum.

Kemudian pada 2023, Basarnas kembali membuka tiga tender proyek pekerjaan. Pekerjaan pertama adalah pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp 9,9 miliar. Proyek kedua yaitu pengadaan Public Safety Diving Equipment dengan nilai kontrak Rp 17, 4 miliar. Proyek ketiga dengan nilai lebih besar yaitu pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (Multiyears 2023-2024) dengan nilai kontrak Rp 89,9 miliar.

Selanjutnya Musunaldi, Marilya, dan Roni melakukan pendekatan secara personal dengan menemui langsung Henri dan Afri. Kasus tersebut terungkap setelah penyidik lembaga antirasuah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7) di Cilangkap dan Jatisampurna, Bekasi.  

Ketiga tersangka sipil tersebut disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Reporter: Andi M. Arief