Pengungkapan kasus korupsi di Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menimbulkan kontroversi. Penetapan lima tersangka yang salah satunya adalah Kepala Basarnas Henri Alfiandi mendapat kritik dari Markas Besar TNI lantaran saat penetapan tersangka ia masih berstatus perwira aktif.
Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsdya Agung Handoko mengatakan personel TNI yang diduga bersalah dan korupsi harus ditindak dengan mekanisme militer. "Kami keberatan kalau ditetapkan sebagai tersangka. Kami ada aturan sendiri di militer," kata Agung dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (28/7).
Agung mengatakan sebenarnya TNI telah menyambangi KPK untuk menggelar rapat gelar perkara. Meski demikian, komisi antirasuah ternyata memutuskan memberikan status tersangka kepada Henri dan Letkol Afri Budi Cahyanto Koorsmin Kabasarnas RI.
KPK merespon kritik Mabes TNI dengan menyampaikan permintaan maaf. Dalam konferensi pers yang digelar pada hari yang sama Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengakui terdapat kelalaian dalam prosedur penetapan tersangka.
"Kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan, bahwasanya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani," kata Johanis.
Pernyataan Johanis langsung menuai kontroversi. Bukan hanya persoalan permintaan maaf, pimpinan KPK disebut lepas tangan dengan menyatakan kekhilafan ada di tangan penyelidik. Padahal sesuai dengan mekanisme di KPK, gelar perkara sebelum penetapan status tersangka dihadiri pula oleh unsur pimpinan.
Mantan Penyidik KPK Novel Baswedan mengkritik sikap pimpinan KPK dalam penanganan kasus korupsi Basarnas. Terlebih kemudian wakil ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan bahwa pengumuman Henri sebagai tersangka sebenarnya tak diikuti dengan kebijakan mengeluarkan surat perintah penyidikan atau sprindik. Alexander mengatakan penanganan kasus yang menjerat Henri dan Afri diserahkan ke Mabes TNI.
“Lalu kenapa Alexander Marwata menyebut yang TNI sebagai tersangka dalam Konpers? Artinya kebohongan publik dong? ” ujar Novel seperti dikutip dari akun media sosial twitter miliknya, Senin (31/7).
Selain itu Novel juga mengkritik sikap pimpinan KPK yang ia nilai menyalahkan anggota dalam penetapan Henri sebagai tersangka. Ia menyebut setiap penanganan kasus di KPK semestinya telah melalui proses bersama pimpinan dan pejabat struktural KPK sehingga tidak bisa disebut hanya kesalahan penyidik.
“Jelas yang salah adalah pimpinan, tapi menyalahkan anggotanya. Khilafnya penyelidik soal apa?’ ujar Novel lagi.
Kisruh penanganan perkara korupsi Basarnas membuat presiden Joko Widodo tak tinggal diam. Ia meminta agar KPK dan Mabes TNI dapat berkoordinasi dalam penanganan kasus dugaan korupsi penerimaan suap yang melibatkan Kepala Basarnas.
"Ya itu menurut saya masalah koordinasi ya, masalah koordinasi yang harus dilakukan. Semua instansi sesuai dengan kewenangan masing masing, menurut aturan," kata Presiden Jokowi di Jakarta, Senin (31/7).
Menurut Jokowi bila hal tersebut dilakukan maka persoalan antara KPK dan Mabes TNI dapat diselesaikan. Lebih jauh ia mengatakan akan mengevaluasi menyeluruh soal penempatan perwira TNI aktif dalam sejumlah jabatan sipil di kementerian dan lembaga usai terungkapnya kasus korupsi Basarnas.
"Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu, semuanya, karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi," kata Presiden
KPK Dinilai Bisa Tangani Perkara Korupsi Basarnas
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum menilai KPK berwenang memeriksa kasus korupsi Basarna meskipun itu melibatkan dua prajurit aktif TNI. Dalam taklimat media yang digelar Minggu (30/7) perwakilan ormas yang terdiri dari YLBHI, KontraS, Lingkar Madani, Centra Initiative, ICW, PBHI, Setara Institute, ELSAM, Forum De Facto, KPI, HRWG, dan Imparsial mengkritik sikap pimpinan yang dinilai melempem.
Menurut mereka masalah yurisdiksi yang muncul dalam kasus itu sebetulnya tidak perlu menjadi perdebatan, karena kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi di Basarnas sesuai dengan asas-asas hukum, konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan peraturan perundang-undangan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dalam taklimat media itu, menjelaskan ada tiga asas hukum yang menjamin kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi di Basarnas, meskipun itu melibatkan prajurit TNI. Asas hukum pertama adalah hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah.
“Asas hukum kedua, hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Asas hukum yang ketiga, hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum,” kata Usman Hamid seperti dikutip Senin (31/7).
Dia menjelaskan UUD 1945 sebagai konstitusi negara membawahi undang-undang di bawahnya, termasuk undang-undang yang mengatur peradilan umum dan peradilan militer. Usman menyebut Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D UUD 1945 mengatur kedudukan seluruh warga negara, tanpa terkecuali, sama di dalam hukum.
“Setiap orang, tanpa terkecuali memiliki kesamaan kedudukan di muka hukum, baik warga sipil, warga berstatus anggota Polri, maupun warga berstatus anggota TNI. Siapa pun tidak boleh kebal hukum,” kata Usman Hamid.
Dia menekankan isi Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang mengatur prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer. Di sisi lain kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Usman melanjutkan dalam sudut pandang asas hukum ketiga, hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Usman menilai kasus tindak pidana korupsi merupakan bagian dari tindak pidana khusus, bukan tindak pidana umum. Karena itu menurut dia persoalan yurisprudensi apakah akan diadili di peradilan militer dan umum tidak perlu diperdebatkan.